Jumat, 27 Januari 2012

Pengantar dan Daftar Isi untuk buku: Beginilah Rasulullah Berbisnis


Pengantar dan Daftar Isi untuk buku:
Beginilah Rasulullah Berbisnis

Alhamdulillah. Shalawat dan salam untuk Rasulullah saw, para sahabat dan orang-orng yang mengikuti ajarannya hingga Hari Akhir nanti.
Jika kita perhatikan, sejak 1000 tahun lalu terjadi pergeseran di kalangan pemegang kekuasaan. Jika pada tahun 1000-an Masehi, kekuasaan berada di tangan kaum rohaniawan yang secara kebetulan adalah beberapa orang yang mampu membaca dan menulis. Lalu, pada tahun 1445, mesin cetak ditemukan. Pengetahuan pun bisa menyebar ke banyak kalangan. Kekuasaan pun berpindah dari tangan agamawan ke tangan politikus. Untuk mempertahan kekuasaannya, para politikus membutuhkan birokrat. Lama kelamaan, kekuasaan bergeser perlahan dari politikus ke birokrat dan militer.
            Pada tahun 1995, ekonomi menjadi begitu penting sehingga menyebabkan runtuhnya beberapa pemimpin politik dan militer. Di Indonesia, Soeharto mengalami hal yang sama. Habibie dari kalangan cendekiawan tidak bisa bertahan. Gus Dur yang mewakili kalangan agamawan juga runtuh. Megawati Soekarno Putri yang mewakili kalangan bangsawan juga tak bisa bertahan.
            Jika dilihat trendnya, ke depan panggung kekuasaan akan dikendalikan oleh para pengusaha. Di Indonesia, kepemimpinan Presiden SBY sebagai seorang militer, tak mungkin bertahan lama. Ini harus terjadi jika sebuah bangsa ingin maju. Ini fakta sekaligus keharusan. Apalagi bagi negara yang sudah memberlakukan pemilihan langsung. Untuk menjadi bupati, walikota, gubernur, apalagi presiden, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Dan itu hanya dimiliki oleh para pengusaha, bukan politikus, militer atau birokrat.
Dalam konteks Indonesia, kaidah ini harus segera diwujudkan jika ingin Indonesia bangkit. Indonesia jangan lagi dipimpin militer, birokrat, atau politikus. Ia harus dipimpin pengusaha. Pemimpin pengusahalah yang bisa membawa Indonesia bangkit. Tentu pengusaha yang bermoral dan bukan yang suka menindas buruh.
Mantan Presiden Soeharto, mungkin berhasil memajukan sisi pertanian Indonesia, tapi tidak di sektor ekonomi dan usaha secara menyeluruh. Kita swasembada beras, tapi tidak sampai mengekspor. Kita berhasil mengembangkan ternak sapi, tapi tidak sampai seperti Australia. Mengapa? Karena pemimpin kita tidak memiliki visi bisnis untuk mengelola bangsa ini.
Pemimpin yang memiliki visi bisnis itu selalu akan berpikir untuk mengembangkan sesuatu dari sedikit menjadi banyak. Ia selalu berpikir untung. Makanya, kita perlu pemimpin yang memiliki visi bisnis dan berpikir kerakyatan. Ia maju bersama orang banyak.
Sisi lainnya, ketika seorang pebisnis itu naik ke panggung ke kekuasaan, dia diharapkan tidak korupsi. Sebab, ia sudah kaya dan karenanya ia juga harus bermoral. Yang dimaksud pemimpin di sini, bukan semata presiden, tapi gubernur, walikota, bupati dan lainnya. Mereka harus memiliki visi bisnis. Negara maju itu, pemimpin-pemimpinnya adalah orang-orang kaya yang berwirausaha. Bukan orang-orang kaya yang tidak jelas dari mana uangnya. Sebanyak 70% gubernur dan senator di Amerika itu adalah pengusaha. Politikus hanya 10%.
Idealnya, sebuah negara memiliki 4%-7% dari penduduknya yang menjadi pengusaha. Saat ini, Indonesia baru memiliki 400 ribu pengusaha alias hanya 0,2% dari total 230 juta penduduknya. Indonesia seharusnya memiliki minimal sembilan juta pengusaha! Jadi, peluang menjadi pengusaha masih terbuka lebar.
Namun pengusaha bukan sembarang pengusaha yang visinya semata  untuk memperkaya diri. Indonesia memerlukan pengusaha yang berpikir untuk kepentingan orang banyak. Kegiatan bisnis yang dilakukan harus menghasilkan kebaikan. Bisnis yang dilakukan harus terwarnai dengan nilai-nilai etika.
Dalam Islam, spirit wirausaha justru begitu jelas. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja dengan tangannya sendiri. Nabi saw sendiri memuji para pedagang yang jujur. Dalam bentangan sejarah, Nabi saw dan para sahabatnya adalah pelaku bisnis yang sukses.
Memang, salah satu aspek kehidupan Nabi Muhammad saw yang kurang mendapat perhatian serius adalah kepemimpinan beliau di bidang bisnis dan entrepreneurship. Muhammad saw lebih dikenal sebagai seorang rasul, pemimpin masyarakat atau “negara”, dan pemimpin militer.
Padahal, sebagian besar kehidupannya sebelum menjadi utusan Allah SWT adalah sebagai seorang pengusaha. Muhammad saw telah memulai merintis karir dagangnya ketika berumur 12 tahun dan memulai usahanya sendiri ketika berumur 17 tahun. Pekerjaan ini terus dilakukan sampai menjelang beliau menerima wahyu (beliau berusia sekitar 37 tahun). Dengan demikian, Muhammad saw telah berprofesi sebagai pedagang selama ± 25 tahun ketika beliau yang berlangsung selama ± 23 tahun.
            Aspek bisnis Muhammad saw ini juga luput dari perhatian kebanyakan orientalis. Mungkin karena dianggap kurang kontroversial dan tidak menarik dalam perdebatan teologis, maka sebagian mereka hanya sering melancarkan serangan terhadap pribadi Muhammad saw tapi jarang mengkaji secara mendalam perilaku bisnis beliau. Untuk itu,  buku ini hadir guna mengupas aspek bisnis Nabi saw.
Secara umum buku terbagi dua bagian besar: Bab I, Bab II, dan Bab III diperuntukkan bagi Anda calon pengusaha. Dipaparkan bagaimana posisi harta dalam Islam, mengapa kita harus kaya dan tak boleh miskin serta apa yang harus kita siapkan untuk pindah ke quadrant business owner. Sedangkan Bab IV dan V diperuntukkan bagi pengusaha. Selain memaparkan tentang bagaimana Nabi saw sebagai pebisnis, juga dijelaskan etika apa saja yang harus diperhatikan oleh para pengusaha. Jadi, buku ini sengaja diperuntukkan bagi calon pengusaha dan para pengusaha.
Melalui lembaran yang amat terbatas ini, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam penyelesaian karya ini. Untuk buah hatiku tercinta: Arini Farhana Kamila, Ahmad Syauqi Banna, Alya Syakira dan Wafi Biahdillah, terimakasih untuk semangat yang dipompakan. Untuk kalian karya ini dipersembahkan sebelum siapa pun. Buat istri tersayang, terima kasih atas dukungannya. Bagi teman-teman halaqah az-Zumar, kelompok Pengajian Ahad pagi, terimakasih atas segala masukkannya.
Yang tak mungkin saya lupakan, spirit beberapa tokoh yang telah memberikan inspirasi dalam karya ini. Mereka adalah: Ustadz Anis Matta, politikus Partai Keadilan Sejahtera. Tak bisa dipungkiri, Bab II dan III dalam karya ini terinspirasi dari ceramah dan beberapa tulisan Ustadz Anis Matta, saat  ia  bicara tentang uang. Meski ceramah dan tulisan itu tak sedikit menuai kontroversi, tapi dari sisi semangat dan motivasi, tentu amat positif.
Tokoh kedua adalah Bang Valentino Dinsi. Dua karyanya yang sempat mengguncang perbukuan Indonesia: Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian Jilid I dan II, tak hanya melepaskan gembok kerangkeng saya dari jeruji sebagai karyawan, tapi juga melecut semangat saya untuk melahirkan karya ini. Bukunya Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Susah, juga menambah gizi buku ini.
Tokoh ketiga adalah Nio Gwan Chung yang setelah hijrah memperkenalkan dirinya dengan Dr Muhammad Syafii Antonio, MM.Ec. Dua karyanya begitu membekas dalam membentuk gaya berpikir saya dalam merampung buku ini. Kedua karya itu adalah buku Muhammad saw The Supre Leader Super Manajer (yang sering ia sebut sebagai matan bukunya) dan buku Ensiklopedi Leadership & Manajemen Muhammad saw, khususnya Jilid II Bisnis dan Kewirausahaan. Kedua buku ini menjadi modal saya merampungkan bab IV dan V karya ini. Terima kasih Pak Syafii.
Satu tokoh lagi: Dr Muhammad Syahrial Yusuf, SE, pendiri LP3I. Melalui interaksi saya dengan beliau ketika menulis buku biografinya, saya seperti sedang kuliah. Begitu banyak ilmu yang saya dapatkan. Tentang spirit wirausaha, cara memulai usaha dan bagaimana mengembangkan usaha. Sebagai akademisi sekaligus pengusaha, Pak Syahrial sangat menguasai bidang ini. Terimakasih.
Untuk Ibu Yuli Yasin, terimakasih atas bukunya 10 Prinsip Bisnis Rasulullah. Bab V dalam buku ini hampir meng-copy paste karya Ibu. Semoga menjadi amal jariyah yang memberikan manfaat buat kita semua.
Saya tak mungkin menyebutkan satu persatu semua pihak yang idenya sudah menginspirasi karya ini, baik secara langsung maupun tidak. Seandainya ada pihak yang merasa telah menyumbangkan kontribusinya, saya ucapkan terima kasih. Bagi ide, saran, tulisan atau apa pun yang belum sempat saya minta izin untuk ditulis dalam karya ini, saya mohon diikhlaskan. Semoga kita mendapatkan ganjaran yang berlipat atas semua yang kita usahakan. Amin.


Bogor, Januari 2012/Shafar 1433 H


Hepi Andi Bastoni






Daftar isi
Bab I                   Harta dan Kerja dalam Pandangan Islam
·         Harta Itu Pisau Bermata Dua
·         Makna Harta
·         Pengelolaan Harta dalam Islam
·         Teladan dari Imam Abu Hanifah

·         Bekerja Itu Ibadah

·         Agar Keringat Tak Mengalir Percuma


Bab II             Mengapa Harus Kaya & Mengapa Tak Boleh Miskin
A.    Mengapa Harus Kaya
1.      Harta tulang punggung kehidupan
2.      Peredaran uang menjadi indikator keshalihan masyarakat
3.      Banyak perintah syariat yang hanya bisa dilaksanakan dengan uang
4.      Harta turut menentukan tingkat strata sosial seseorang
5.      Harta bisa menjadi penunjang dakwah
6.      Harta Bisa Menjadi Salah Satu Sebab Mendapatkan Kebahagiaan Dunia

B.    Mengapa Tak Boleh Miskin
1.      Kemiskinan Bisa Menimbulkan Kekufuran
2.      Kemiskinan Membuat kita susah menolong orang lain
3.      Kemiskinan Membebani orang lain
4.      Kemiskinan Membuat Hidup Kian Tertekan
5.      Kemiskinan Membuat Orang Pesimis Menatap Masa Depan
6.      Kemiskinan Bisa Menimbulkan Stres
7.      Kemiskinan Dapat Membuat Orang Tidak Percaya Diri
8.      Kemiskinan Membuat Pandangan Seseorang Menjadi Sempit
9.      Kemiskinan Bisa Membuat Orang Rendah Diri
10.  Berpotensi tidak Independen dan Tergantung pada Orang Lain
11.  Berpotensi Mudah Tersinggung dan Melahirkan Sifat Dengki
12.  Menghambat Peningkatan Keilmuan
13.  Bisa Mematikan Kreativitas

Bahaya Kemiskinan dan Solusinya Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi
·         Bahaya kemiskinan terhadap aqidah
·         Bahaya kemiskinan terhadap etika dan moral
·         Bahaya kemiskinan terhadap pemikiran
·         Bahaya kemiskinan terhadap rumah tangga
·         Bahaya kemiskinan terhadap masyarakat

Bab III       Menata Ulang Kehidupan Finansial
1.      Rencanakan Hidup dan Bermimpilah
2.      Perbaiki Mental
3.      Perluas Pergaulan dan Silaturahim
4.      Belajarlah untuk Selalu Memberi
5.      Mulailah Berbisnis

Bab IV       Rasulullah Seorang Pebisnis
·         Membentuk Jiwa Wirausaha Sejak Kecil
·         Menelusuri Jejak Bisnis Rasulullah saw
·         Bisnis Setelah Menikah
·         Nabi Muhammad saw Itu Kaya
·         Wafat dengan Penuh Kesederhanaan

Bab V        Beginilah Rasulullah saw Berbisnis
1.      Memiliki Pengetahuan Tentang Hukum Jual Beli
2.      Jujur dan Amanah
3.      Menghindari Sumpah dengan Nama Allah
4.      Disiplin Waktu
5.      Toleransi
6.      Membatasi Hanya Bisnis Halal
7.      Rapi Administrasi
8.      Silaturahim
9.      Banyak Beristighfar dan Berdoa
10.  Membayar Zakat dan Banyak Bersedekah

Selasa, 24 Januari 2012

Jelang Perang Shiffin


Persiapan Menuju Shiffin (3)
Oleh: Hepi Andi Bastoni

            Sebelum mengetahui bagaimana sikap Khalifah Ali bin Abi Thalib saat menerima surat penolakan dari Muawiyah bin Abu Sufyan untuk berbaiat kepadanya, kita lihat dulu bagaimana peta kekuatan di  pihak Sang Khalifah.
Kalau Muawiyah bin Abi Sufyan mendapatkan dukungan penuh dari mantan Gubernur Mesir Amr bin Ash, bagaimana dengan pihak Ali bin Abi Thalib? Ada dua tokoh yang akan saya jelaskan mengenai sikap keduanya terhadap Ali bin Abi Thalib dalam masalah ini. Keduanya adalah: mantan panglima wilayah Khurasan Ahnaf bin Qais at-Tamimi, dan mantan Gubernur Irak Abu Musa al-Asy’ari.
Dalam rangka mempersiapkan pasukan menghadapi tantangan dari Syam (Muawiyah), Ahnaf bin Qais at-Tamimi, berangkat dari Basrah menjumpai Khalifah Ali di Kufah. “Ya Amirul Mukminin, Bani Said tak berpihak kepada Anda pada Perang Jamal. Mereka amat menaruh hormat kepada Aisyah, Zubair dan Thalhah. Tapi terhadap pihak yang Anda hadapi ini, mereka tidak menaruh hormat.”
            Khalifah Ali menjawab, “Tulislah surat kapada para pengikut Anda itu.”
            Panglima Ahnaf lantas menghubungi kabilahnya, Bani Said, yang merupakan bagian dari suku besar Tamimi. Dalam waktu singkat, ia pun kembali ke Kufah dengan 10.000 tenaga tempur, siap mendukung pasukan Ali bin Abi Thalib.
            Berbeda dengan sikap Ahnaf bin Qais at-Tamimi, Abu Musa al-Asyari tetap mempertahankan sikap non aktifnya. Ia tak mau melibatkan diri dalam sengketa di kalangan para sahabat Nabi saw itu. Sekalipun menaruh simpati terhadap Khalifah Ali, ia tetap lebih menginginkan perdamaian. Dia seorang tokoh yang lebih mengutamakan agamawi daripada duniawi, terkenal wara’ dan zuhud. Bagi kepentingan agama, dia bersedia menyabung nyawa. Ia terkenal sebagai panglima yang berani, memimpin berbagai penaklukan di wilayah Imperium Persia. Tapi dalam kancah politik, ia tak mau terlibat.
            Di akhir pemerintahan Utsman, Abu Musa menjabat gubernur Irak, Azarbaijan dan Armenia yang berkedudukan di Kufah. Ketika Ali bin Abi Thalib terpilih menjabat khalifah, ia mengambil baiat dalam wilayah kekuasaannya terhadap Ali.
            Ketika Ali memberhentikan sebagian pejabat daerah yang diwariskan Utsman, ia memerintahkan Imarah bin Syihab untuk berangkat ke Kufah, membawa surat pemberhentian Abu Musa sekaligus surat pengangkatan Imarah bin Syihab untuk menggantikannya. Dalam perjalanan, ia memperoleh berita dari kafilah dari Kufah bahwa penduduk Irak tidak sudi gubernur mereka diganti. Imarah bin Syihab pulang ke Madinah dan menyampaikan hal itu. Khalifah Ali terpaksa mengukuhkan jabatan Abu Musa Al-Asyari kembali.[1]
            Saat Muawiyah dari Syria menampakkan tantangan terhadap Khalifah Ali, dan Ali menyusun pasukan di bawah pimpinan putranya Muhammad bin Hanifah lalu memerintahkannya berangkat ke Kufah untuk menyusun kekuatan yang lebih besar dari situ, Abu Musa menunjukkan sikapnya yang “membebaskan diri dari setiap sengketa”, yakni “qu’ud ‘anil-fitnati”. Ketika orang  banyak di Kufah menanyakan pendiriannya, demikian menurut Tarikh-al-Thabari[2], ia menjawab, “Duduk itu jalan ke akhirat, dan keluar itu jalan ke dunia. Maka, silakan pilih!”
            Khalifah Ali mendapat laporan tentang sikap dan pendirian Abu Musa itu. Ia pun mengirimkan putranya Hasan ke Kufah, disertai Ammar bin Yasir, untuk mengetahui sikap sebenarnya dari gubernur Irak tersebut.
Abu Musa memeluk Hasan dan barulah berpaling dan mengulurkan tangannya kepada Ammar bin Yasir. Jawaban tegas terhadap kedua utusan itu, keluar dari mulutnya, “Aku pernah mendengar sabda Rasulullah saw, ‘Bakal datang suatu masa, yang saat itu seorang yang duduk labih baik daripada yang berdiri. Seorang yang berdiri lebih baik daripada berjalan. Seorang yang berjalan lebih baik daripada yang berkendaraan. Allah Maha Mulia menciptakan kita bersaudara. Dia mengharamkan harta dan darah sesama kita.”
            Khalifah Ali terpaksa berangkat ke Kufah dan menyusun sendiri kekuatan di situ. Ia pun memberhentikan Abu Musa dari jabatannya. Abu Musa menerima pemberhentiannya dengan rela hati. Ketika pecah sengketa antara Khalifah Ali dengan Aisyah, Zubair dan Thalhah, Abu Musa lebih mempertahankan sikapnya itu, sekalipun tetap menaruh hormat dalam hatinya terhadap Khalifah Ali.
            Bagaimana sikap Khalifah Ali bin Abi Thalib ketika mengetahui utusannya Panglima Jubair bin Abdillah al-Baiji gagal mengambil baiat atas Muwaiyah di Damaskus? Nantikan tulian berikutnya, insya Allah.

[1] Untuk lebih detil tentang sosok Abu Musa al-Asy’ari, silakan rujuk buku 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni, Pustaka al-Kautsar, Cetakan Pertama September 2002 halaman 137-146.
[2] Jilid 3 halaman 496

Senin, 23 Januari 2012

Jelang Perang Shiffin


Jelang Perang Shiffin (2)
Oleh: Hepi Andi Bastoni

Usai Perang Jamal, Ali bin Abi Thalib kembali ke Kufah untuk mempersiapkan pasukan guna menghadapi tantangan Muawiyah bin Abu Sufyan dari Syam. Kemenangan Ali pada Perang Jamal, menyebabkan penduduk Irak, Iran dan Khurasan menyatakan berdiri sepenuhnya di belakang sang Khalifah.
Apalagi sejak awal, masyarakat umum di tanah Irak dan Iran, mempunyai pandangan simpatik terhadap Ali bin Abi Thalib atas sikapnya pada masa pemerintahan Khalifah Umar terhadap tiga putri Kaisar Yezdegrid III, yang tertawan waktu penaklukan Madain. Mereka menaruh hormat pada keturunan Ali, terutama pada Husain, perpaduan dari turunan Kaisar Imperium Persia dengan darah turunan Nabi Muhammad saw.
            Balabantuan datang dari Azarbaijin, Iran dan Khurasan. Pada bagian Barat, Muhammad bin Abu Bakar yang telah kembali ke Mesir sehabis mengantarkan saudaranya Aisyah ke Madinah, mempersiapkan pula pasukan untuk menghadapi tantangan dari Syam. Dengan demikian, kedudukan Muawiyah di Syam, terkepung dari segala penjuru.
            Namun mempersiapkan pasukan demikian besar memakan waktu tidak sedikit. Ali harus menunggu mereka dari jarak-jarak jauh. Pasukan itu juga harus mempersiapkan perlengkapan dan perbekalan dalam kurun waktu yang panjang.
            Pada Syawal 36 H/657 M, Khalifah Ali mengirimkan utusan ke Damaskus di bawah pimpinan panglima Jurair bin Abdillah al-Bajili. Ia membawa suatu tuntutan kepada Muawiyah berisikan salah satu di antara dua pilihan: mengangkat baiat terhadap Khalifah Ali atau meletakkan jabatan sebagai Gubernur Syam.
            Muawiyah bin Abu Sufyan sengaja mengulur-ngulur waktu untuk memberikan jawaban yang terakhir. Sementara itu, ia sengaja ingin memberikan kesempatan kepada utusan itu menyaksikan suasana di Syam.
            Muawiyah bin Abu Sufyan menyadari sepenuhnya bahwa Amr bin Ash tidak senang terhadap Khalifah Utsman. Karena itu ia tidak memilih salah satu pihak dalam sengketa yang tengah memuncak kala itu. Namun Muawiyah mempunyai jalan untuk memancing cendikiawan Arab besar itu untuk berdiri di pihaknya. Di sinilah kekalahan strategi politik Ali bin Abi Thalib. Sebab, dia memang seorang militer, bukan seorang negarawan atau politikus. Tersisa kita melihat ‘pertarungan’ politik antara dua jawara Arab: Muawiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash. Kita tahu, jauh sebelum masuk Islam, dua tokoh ini benar-benar diandalkan oleh Quraisy.
            Muawiyah mengirim utusan ke Palestina menjemput Amr bin Ash, membawa sepucuk surat. Ahmad al-Yaakubi (wafat 248 H/897 M) dalam Tarikh al Yaakubi jilid I halaman 315 mengabadikan surat Muawiyah bin Abu Sufyan yang berbunyi, “...Adapun kemudian, mengenai peristiwa Ali, Thalhah dan Zubair, niscaya Anda telah mengetahuinya. Ali mengirim Jurair bin Abdillah menjumpaiku supaya mengangkat baiat. Saya menahan diri menunggu kedatangan Anda. Sudilah datang atas lindungan Allah Maha Tinggi.”
            Amr bin Ash, dari kediamannya di Palestina, secara diam-diam terus mengikuti perkembangan politik aktual saat itu. Sekalipun dia sudah menyatakan bersikap non-aktif tapi dia bukan seorang yang bisa tenteram dengan sikap berdiamkan diri. Dalam dirinya mengalir darah militer, politikus, diplomat dan negarawan yang sangat tercatat dalam sejarah.
            Surat Muawiyah datang mengundangnya ke Damaskus. Dia bukan seorang yang bisa buru-buru menentukan sikap. Sejak lama ia melakukan penilaian. Menurutnya, Muawiyah telah menancapkan kukunya di wilayah Syam. Kebijakan pemerintahannya selama ini, membangkitkan simpati penduduk Syam. Bahkan, mereka rela berkorban untuknya.
Di satu sisi, Khalifah Ali didukung berbagai kekuatan heterogen, dengan simpang-siur pendapat di dalamnya. Berjumlah besar memang, tapi tidak memperlihatkan keutuhan. Menurutnya, sekalipun tampaknya pihak Muawiyah berada dalam keadaan terkepung, tapi pada hakikatnya berada pada pihak yang unggul. Dalam kondisi demikian, Amr bin Ash meminta pendapat kedua putranya: Abdullah bin Amr dan Muhammad bin Amr.
            Sejarah mencatat jawaban putranya yang tertua, Abdullah bin Amr yang berbunyi, “Wahai ayahku, Rasulullah saw wafat, ia merasa puas denganmu. Abu Bakar dan Umar wafat, keduanya merasa puas. Jangan agama dirusakkan oleh duniawi yang sekejap yang akan ditawarkan Muawiyah...”
Abdullah bin Amr (wafat 65 H\685 M) itu, demikian Dr Muhammad Khudri Beik dalam Tarikhut Tasyri’il-Islami[1] menyebutkan, ia tokoh besar pada masa belakangan di kalangan Fuqaha Amshar. Ia seorang tokoh yang lebih mengutamakan agamawi daripada duniawi.[2]
            Pendapat putranya yang termuda, Muhammad bin Amr, jauh berbeda dengan pendapat Abdullah bin Amr. Ia memandang undangan Muawiyah itu sebagai kesempatan terbaik bagi ayahnya untuk tawar menawar. Hal itu disebabkan Muhammad bin Amr seperti juga ayahnya, adalah seorang militer dan politikus.
            Amr menuruti saran putra termudanya. Ia berangkat menuju Damaskus. Berlangsung perundingan antara Muawiyah dengan Amr. Muawiyah memaparkan duduk situasi selengkapnya dan meminta Amr bin Ash berdiri di pihaknya. Tarikh al-Yaakubi mencatat jawaban Amr saat itu, “Tidak, demi Allah. Aku tidak akan menyerahkan agamaku kepadamu sampai aku beroleh ketentuan tentang duniamu!”
            Muawiyah menyatakan, target akhir baginya ialah jabatan khilafah. Muawiyah ingin menjadi khalifah! Itulah target Muawiyah yang ia kemukakan kepada Amr. Ia pun mengikrarkan janji, jika menang dalam sengketa ini, kedudukan Amr bin Ash akan dipulihkan kembali untuk menjabat gubernur Mesir dan Tripoli.
            Janji yang diikrarkan itu diterima baik oleh Amr. Jawaban terakhir lantas diberikan kepada Panglima Jurair bin Abdillah al-Bajili, utusan pihak Khalifah Ali, bahwa Muawiyah bin Sufyan menolak semua pilihan itu dan akan menyelesaikan sengketa melalui pedang!
            Atas saran Amr bin Ash, sejak itu Muawiyah mengumumkan dirinya sebagai khalifah, dengan panggilan Khalifah Muawiyah. Alasannya, Ali bin Abi Thalib dianggap tidak memenuhi dan tidak menjalankan tugasnya sebagai khalifah dalam menegakkan hukum sepanjang syariat Islam. Sejarah mencatat bahwa baiat berlangsung di seluruh wilayah Syam dan Palestina.
            Dengan mengumumkan diri sebagai khalifah, menurut tilikan Amr bin Ash, perjuangan sebenarnya baru mempunyai landasan kuat. Ia belajar banyak dari Zubair, Thalhah dan Aisyah saat menentang Ali bin Abi Thalib. Jika dalam melakukan perlawanan, Muawiyah masih dalam posisi sebagai gubernur Syam, maka dia akan dicap perusuh terhadap pemerintahan yang sah. Ia akan dianggap pemberontak yang harus dibasmi.
            Demikianlah, dua tokoh politik berpadu, menyatukan strategi, berkoalisi dengan perjanjian yang telah disepakati, untuk mewujudkan ijtihad mereka secara bersama. Bagaimana tanggapan pihak Khalifah Ali bin Abi Thalib mendapatkan surat keputusan Muawiyah bin Abi Sufyan? Nantikan tulisan berikutnya, insya Allah.


[1] Cetakan 1930 halaman 159
[2] Untuk lebih jelas tentang sosok Abdullah bin Amr bin Ash ini, silakan rujuk buku 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni, Pustaka al-Kautsar, Cetakan Pertama September 2002 halaman 19-26.