Sabtu, 21 Januari 2012

Sejarah Perang Shiffin (Antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib)


Jelang Perang Shiffin (1)
Antara Ali, Amr dan Muawiyah
Oleh: Hepi Andi Bastoni

Amr bin Ash, mantan Gubernur Mesir dan Tripoli yang diberhentikan Khalifah Utsman memainkan peran penting dalam kiprah politik Muawiyah. Saat krisis memuncak di Madinah dan nampak sikap Khalifah Utsman tidak mempunyai kepastian, Amr pun meninggalkan Madinah dan berangkat ke Palestina. Ia tidak ingin terlibat dalam peristiwa yang makin memanas itu.
Amr bin Ash, yang terpandang cendikiawan besar itu, tidak ingin berpihak kepada Utsman. Dia sangat berkecil hati atas pemberhentiannya dan apalagi digantikan kedudukannya oleh seorang yang menurutnya tidak layak. Sejarah sangat mencatat dialog-dialog singkat dan penuh sinis antara Amr dengan Khalifah Utsman mengenai Abdullah bin Abi Sarah, penggantinya sebagai gubernur Mesir. Bahkan, sewaktu Utsman meminta pendapat Amr bin Ash saat terakhir tentang krisis di Madinah, dia masih menunjukkan pendapat keras dan tajam.
Ia membayangkan, mendung akan menggelayuti Madinah, memancarkan petir dan halilintar. Amr bin Ash tak mau terlibat dalam kemelut itu. Ia pun berangkat ke Palestina, membebaskan diri sepenuhnya dari catur polotik, bersikap non aktif.
Namun sebenarnya itu bukan kepribadian Amr. Kejiwaaannya tidak mengizinkan ia uzlah. Kehidupan Amr tak mungkin dipisahkan dengan politik. Dari kediamannya di Palestina, Amr masih tetap memperhatikan kafilah atau penunggang kuda dari Madinah. Ia senantiasa bertanya tentang keadaan Madinah. Ketika apa yang dia perkirakan terjadi, demikian menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan dalam karyanya Amr bin Ash halaman 204, edisi Kairo, Amr bin Ash cuma tersenyum sinis.
Saat itu dia didampingi kedua putranya, Muhammad bin Amr dan Abdullah bin Amr, dan seorang tokoh bernama Salamah bin Ruwah al-Juzami. Amr terus memperdengarkan kritiknya terhadap suku besar Quraisy yang tengah menghadapi keretakan dan perpecahan itu.
Dengan diam-diam, dari kediamannya di Palestina itu, Amr terus mengikuti perkembangan yang terjadi. Ali bin Abi Thalib terpilih menjabat khalifah. Namun Amr tak mau buru-buru menerjunkan diri ke catur politik kembali. Ia tidak bisa berharap banyak pada Ali. Menurutnya, Ali tidak akan mampu berbuat banyak memulihkan keadaan sebagaimana Abu Bakar dan Umar. Menurutnya, Ali bin Abi Thalib itu seorang tentara dan berjiwa militer, bukan seorang negarawan atau politikus.
Amr bin Ash juga mengikuti gerakan Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah, yang mendukung tindakan Aisyah yang menyebabkan meletusnya Perang Jamal. Sejak awal Amr sudah memperkirakan kegagalan mereka. Menurutnya, Zubair seorang militer dan Thalhah seorang pebisnis. Takkan bisa mengalahkan Ali bin Abi Thalib dalam hal perang. Apalagi gerakan tersebut tak mempunyai landasan kuat dan kokoh. Jika memang bertujuan “menuntut darah Utsman” maka gerakan itu semestinya menggabungkan diri dengan gerakan di Syam yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan. Karena memisahkan diri, mudah dihancurkan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Sepanjang logika politik, dalam pertentangan yang sangat tajam antara Ali dan Muawiyah, Amr semestinya memilih pihak Ali. Namun, ternyata tidak.  Sejarah mencatat, Amr akhirnya berdiri di pihak Muawiyah. Kita akan ketahui penyebabnya, pada tulisan selanjutnya, insya Allah.(Bersambung)

1 komentar:

  1. assalamualaikum...
    mas saya ingin bertanya apakah sultam muhammad al fatih merupakan seorang khalifah? atau hanya oemimpin kerajaan saja,sy tertarik dengan sejarah beliau krn berhasil menaklukan konstantinopel,awalnya sy menganggap beliau adalah khalifah tetapi karna tidak terdapat sumber kepastian info sy tanyakan kepada saudara. terimakasih wassalamualaikum

    BalasHapus