Jelang Perang Shiffin (1)
Antara Ali, Amr dan Muawiyah
Oleh: Hepi Andi Bastoni
Amr bin Ash,
mantan Gubernur Mesir dan Tripoli yang diberhentikan Khalifah Utsman memainkan
peran penting dalam kiprah politik Muawiyah. Saat krisis memuncak di Madinah
dan nampak sikap Khalifah Utsman tidak mempunyai kepastian, Amr pun
meninggalkan Madinah dan berangkat ke Palestina. Ia tidak ingin terlibat dalam
peristiwa yang makin memanas itu.
Amr bin Ash,
yang terpandang cendikiawan besar itu, tidak ingin berpihak kepada Utsman. Dia
sangat berkecil hati atas pemberhentiannya dan apalagi digantikan kedudukannya
oleh seorang yang menurutnya tidak layak. Sejarah sangat mencatat dialog-dialog
singkat dan penuh sinis antara Amr dengan Khalifah Utsman mengenai Abdullah bin
Abi Sarah, penggantinya sebagai gubernur Mesir. Bahkan, sewaktu Utsman meminta
pendapat Amr bin Ash saat terakhir tentang krisis di Madinah, dia masih
menunjukkan pendapat keras dan tajam.
Ia
membayangkan, mendung akan menggelayuti Madinah, memancarkan petir dan
halilintar. Amr bin Ash tak mau terlibat dalam kemelut itu. Ia pun berangkat ke
Palestina, membebaskan diri sepenuhnya dari catur polotik, bersikap non aktif.
Namun
sebenarnya itu bukan kepribadian Amr. Kejiwaaannya tidak mengizinkan ia uzlah.
Kehidupan Amr tak mungkin dipisahkan dengan politik. Dari kediamannya di
Palestina, Amr masih tetap memperhatikan kafilah atau penunggang kuda dari
Madinah. Ia senantiasa bertanya tentang keadaan Madinah. Ketika apa yang dia
perkirakan terjadi, demikian menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan dalam karyanya Amr
bin Ash halaman 204, edisi Kairo, Amr bin Ash cuma tersenyum sinis.
Saat itu dia
didampingi kedua putranya, Muhammad
bin Amr dan Abdullah bin Amr, dan seorang tokoh bernama Salamah bin Ruwah al-Juzami. Amr
terus memperdengarkan kritiknya terhadap suku besar Quraisy yang tengah
menghadapi keretakan dan perpecahan itu.
Dengan
diam-diam, dari kediamannya di Palestina itu, Amr terus mengikuti perkembangan
yang terjadi. Ali bin Abi Thalib terpilih menjabat khalifah. Namun Amr tak mau
buru-buru menerjunkan diri ke catur politik kembali. Ia tidak bisa berharap
banyak pada Ali. Menurutnya, Ali tidak akan mampu berbuat banyak memulihkan
keadaan sebagaimana Abu Bakar dan Umar. Menurutnya, Ali bin Abi Thalib itu
seorang tentara dan berjiwa militer, bukan seorang negarawan atau politikus.
Amr bin Ash
juga mengikuti gerakan Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah, yang
mendukung tindakan Aisyah yang menyebabkan meletusnya Perang Jamal. Sejak awal
Amr sudah memperkirakan kegagalan mereka. Menurutnya, Zubair seorang militer
dan Thalhah seorang pebisnis. Takkan bisa mengalahkan Ali bin Abi Thalib dalam
hal perang. Apalagi gerakan tersebut tak mempunyai landasan kuat dan kokoh.
Jika memang bertujuan “menuntut darah Utsman” maka gerakan itu semestinya
menggabungkan diri dengan gerakan di Syam yang dipimpin Muawiyah bin Abu
Sufyan. Karena memisahkan diri, mudah dihancurkan oleh Khalifah Ali bin Abi
Thalib.
Sepanjang
logika politik, dalam pertentangan yang sangat tajam antara Ali dan Muawiyah,
Amr semestinya memilih pihak Ali. Namun, ternyata tidak. Sejarah mencatat, Amr akhirnya berdiri di
pihak Muawiyah. Kita akan ketahui penyebabnya, pada tulisan selanjutnya, insya Allah.(Bersambung)
assalamualaikum...
BalasHapusmas saya ingin bertanya apakah sultam muhammad al fatih merupakan seorang khalifah? atau hanya oemimpin kerajaan saja,sy tertarik dengan sejarah beliau krn berhasil menaklukan konstantinopel,awalnya sy menganggap beliau adalah khalifah tetapi karna tidak terdapat sumber kepastian info sy tanyakan kepada saudara. terimakasih wassalamualaikum