Kamis, 29 Desember 2011

PILIH RUMAH KONTRAKAN ATAU RUMAH SENDIRI


           


Pilih Rumah Kontrakan atau Rumah Sendiri?
Oleh: Hepi Andi Bastoni *

Bagi para perantau, istilah rumah kontrakan tak mungkin asing. Tentu saja dengan aneka bentuk dan pilihan serta suka dan dukanya. Nah, meski tak terlalu tepat, sepertinya menarik kalau kita bandingkan istilah ‘rumah kontrakan’ dengan perusahaan tempat bekerja.
Menurut pengalaman mereka yang berhasil menaikkan status diri dari quadrant employee (sebagai karyawan) ke quadrant business owner (pengusaha), hidup sebagai karyawan tak ubah seperti pengontrak rumah. Suka duka rumah kontrakan persis dengan pahit manis hidup sebagai karyawan.
Orang yang bekerja sebagai karyawan, tak ubah seperti pengontrak rumah. Ia numpang berteduh, numpang makan, dan membesarkan keluarga. Bedanya, kalau pemilik rumah memberikan fasilitas tempat berteduh dengan makna sebenarnya, pemilik perusahaan memberikan tempat teduh berupa honor bulanan dan fasilitas perusahaan. Kalau pengontrak rumah harus membayar dengan uang karena telah diberi fasilitas rumah, karyawan mesti membayar dengan keringat dan kerja keras atas imbalan yang diberikan pemilik perusahaan. Masing-masing waktu pemberian imbalan itu pun dibayar sama: setiap akhir bulan.
Jika tak mau diusir, pengontrak rumah mesti membayar uang kontrakan. Persis seperti karyawan. Ia harus bekerja keras, tak boleh terlambat (bahkan sebagian perusahaan memberikan sanksi kepada karyawannya yang terlambat meski kerjanya bagus), kerja profesional (baca: sesuai kemauan pemilik perusahaan), kerja lembur (kadang) untuk memikirkan dan membesarkan atau menyelamatkan ‘rumah’ sang pemilik perusahaan. Seorang karyawan juga harus taat aturan, termasuk cara berpakaian (Ada sebuah perusahaan yang memberikan sanksi lantaran karyawannya lupa menggunakan seragam. Ada juga seorang karyawan yang disuruh pulang karena mengenakan sepatu sandal). Pulang kantor tak boleh lebih cepat dari ketentuan, tapi kalau terlambat pulang tak diberikan sanksi sebagaimana kalau dia datang terlambat (bahkan banyak perusahaan yang tidak memberikan uang lembur bagi karyawannya yang dipaksa kerja melebihi jam kerja). Tak jarang juga para karyawan yang harus membawa bantal, sikat gigi, handuk karena mesti menginap di kantor, (sekali lagi untuk bekerja buat pemilik perusahaan).
Persis seperti pengontrak rumah, sebagian karyawan juga banyak yang selalu dirundung was-was. Khawatir tak bisa membayar kontrakan setiap akhir bulan, takut kalau tiba-tiba pemilik rumah mengusir dengan alasan tidak jelas, takut jangan-jangan rumahnya ambruk atau terjual atau tergusur. Atau, khawatir kalau tiba-tiba sang pemilik rumah seenaknya menaikkan bayaran bulanan!
Sebagian karyawan juga diliputi hal serupa. Khawatir tak mendapat honor (gaji) pada setiap akhir bulan, takut kalau tiba-tiba pemilik perusahaan mengusir dengan alasan tidak jelas (sekarang lagi musim tuh, para bos memecat anak buahnya dengan alasan semaunya), takut jangan-jangan perusahaannya ambruk, bangkrut, atau dijual ke orang lain. Atau, khawatir kalau tiba-tiba sang pemilik perusahaan seenaknya menurunkan gaji bulanan!
Lalu, bagaimana dengan mereka yang hidup di rumah sendiri? Meski mungkin di awal-awal kondisinya tidak lebih baik dari rumah kontrakan, paling tidak ia tak perlu khawatir akan diusir. Ia juga bebas mau merenovasi, cat ulang, mengganti pintu yang rusak, menambah kamar lagi, atau mau meningkatkan bangunan rumahnya menjadi dua atau sekian tingkat. Hal yang tak mungkin dilakukan para pengontrak rumah.
Begitu juga nasib para pengusaha. Mungkin di awal-awal mendirikan usaha, ia belum mendapatkan fasilitas mewah sebagai mana para karyawan yang sudah bekerja puluhan tahun. Tapi, ibarat rumah, ia sudah menjadi miliknya sendiri. Ia tidak lagi sedang memikirkan rumah orang lain. Seandainya ia harus lembur atau kerja keras, ia sedang membangun rumahnya. Bukan rumah orang lain.
Kalau pun ia harus mengecat ulang dinding, atau memperbaiki kamar mandi, atau membetulkan atap yang bocor, atau mengganti jendela, ia sedang memperbaiki rumahnya sendiri. Bukan rumah orang lain. Seandainya ia harus banting tulang, naik ke atas atap rumahnya, jatuh, keseleo, atau mungkin mesti dirawat di rumah sakit, ia tidak sedang bekerja untuk memperbaiki rumah orang lain. Ia bekerja untuk rumahnya sendiri.
 Apakah, ia tidak khawatir suatu saat rumahnya akan ambruk? Tentu! Sama persis dengan seorang karyawan yang juga tidak bisa menjamin apakah ‘rumah’ bosnya tidak akan ambruk!
Sekarang pilihan ada di depan mata: mau tetap terus hidup mengontrak atau merintis rumah sendiri? Atau menunggu usia tua, suatu saat terusir dari ‘rumah kontrakan’ dan tak sanggup lagi membangun rumah sendiri.
Yang ironisnya, kalau Anda saat ini hidup dalam dua kontrakan: pengontrak kerja (sebagai karyawan) dan pengontrak rumah dengan makna sebenarnya! Hm... Fa’tabiru ya ulil albab!

*Seorang laki-laki yang sedang membangun rumahnya sendiri

Rabu, 28 Desember 2011

Kiat Menjadi Suami Istri Memesona


Kiat Menjadi Suami Istri Memesona
Oleh: Hepi Andi Bastoni
 
Keluarga menempati posisi amat penting dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Kejayaan sebuah negara takkan mungkin terwujud tanpa dilandasi dengan kuatnya pondasi keluarga dalam masyarakat. Ibarat sebuah bangunan, keluarga adalah pondasi yang akan menentukan kokoh dan tidaknya bangunan itu.
Di antara batu bata pondasi keluarga itu adalah terciptanya suasana harmonis dan romantis antar suami istri. Keluarga sehat dan kokoh takkan mungkin terwujud manakala hubungan antara suami dan istri tidak terjalin dengan baik.
Hak suami adalah kewajiban istri. Sebaliknya, hak istri adalah kewajiban suami. Namun, selain mengetahui hak dan kewajibannya, suami dan istri juga harus mengetahui apa saja yang tidak boleh dilakukan terhadap pasangannya. Dengan mengetahui hal itu, maka pertengkaran dalam rumah tangga bisa dihindari.
Begitu banyak hal yang harus diperhatikan pasangan suami istri. Sebagian hal-hal sepele tapi seringkali diabaikan. Misalnya, bagi sebagian istri banyak yang tidak peduli dengan penampilannya di depan suami. Kalau keluar rumah, ia menggunakan pakaian rapi, kadang ditambah dengan wewangian. Namun di dalam rumah dan di depan suaminya, ia berpakaian seadanya.
Sebaliknya, sebagian suami banyak yang tidak bisa berterimakasih kepada istrinya. Dia menganggap dirinyalah yang berperan besar dalam rumah tangga: mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Namun ia lupa kalau istrinya memberikan peran yang luar biasa ketika berada di rumah. Ia harus menyiapkan makan, mendidik anak, bangun di malam hari ketika suaminya terlelap saat bayi mereka masih kecil, dan sebagainya. Hal ini sering dilupakan para suami.
Islam tak membedakan kedudukan suami dan istri. Yang membedakan mereka adalah fungsi. Bahkan, kaum wanita memiliki kedudukan khusus dalam tatanan masyarakat Islam. Kedudukan itu amat mulia, tidak mengurangi hak-hak mereka, juga tidak menjadikan nilai kemanusiaannya rapuh. Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan betapa pentingnya peran wanita, baik sebagai ibu, istri, saudara perempuan, maupun sebagai anak. Demikian pula yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya.
Sebagai istri, wanita adalah sahabat bagi suaminya. Kepadanya melekat sejumlah kewajiban yang harus dilaksanakan. Antara lain, ia harus bisa menjaga rahasia suami dan semua yang ada di rumah suaminya. Semuanya adalah amanah, dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Sabda Rasulullah saw, “Seorang wanita adalah pemimpin di rumah tangga suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya itu,” (HR Bukhari Muslim).
Sebagai rabbat al-bayt (pengurus rumah tangga), seorang istri juga dituntut memiliki keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan. Bukan hanya keahlian dan keterampilan memasak, menata rumah, menata penampilan, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan dalam masalah kesehatan dan keuangan.
Istri adalah teman hidup bagi suaminya. Pengertian teman di sini mempunyai arti adanya kedudukan yang sama. Istri dapat menjadi teman yang dapat diajak berdiskusi tentang masalah yang dihadapi suami. Sehingga apabila suami mempunyai masalah yang cukup berat, tapi istri mampu memberikan suatu sumbangan pemecahannya maka beban yang dirasakan suami berkurang. Disamping itu sebagai teman menandung pengertian jadi pendengar yang baik. Selama di kantor suami kadang mengalami ketidak-puasan atau perlakuan yang kurang mengenakkan, kejengkelan-kejengkelan ini dibawanya pulang. Di sini istri dapat mengurangi beban suami dengan cara mendengarkan apa yang dirasakan suami, sikap seperti ini dapat memberi ketenangan pada suami.
Istri adalah penasihat bagi suaminya. Sebagai manusia biasa suami tidak dapat luput dari kesalahan yang kadang tidak disadarinya. Nah, di sini istri sebaiknya memberikan bimbingan agar suami dapat berjalan di rel yang benar. Selain itu suami kadang menghadapi masalah yang pelik, nasihat istri sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalahnya.
Istri sebagai pendorong bagi suami. Sebagai manusia, suami juga masih selalu membutuhkan kemajuan di bidang pekerjaannya. Di sini peran istri dapat memberikan dorongan atau motivasi pada suami. Suami diberi semangat agar dapat mencapai jenjang karier yang diinginkan, tentunya harus diingat keterbatasan-keterbatasannya. Artinya istri tidak boleh yang terlalu ambisi terhadap karir atau kedudukan suami, kalau suami tidak mampu jangan dipaksakan, hal ini akan menimbulkan hal-hal yang negatif.
Pada prinsipnya dari apa yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa peran istri sebagai pendamping suami dapat sebagai teman, pendorong dan penasehat yang bijaksana. Dan yang paling penting bahwa semua peran itu dapat dilakukan dengan baik apabila ada keterbukaan satu sama lain, kerjasama yang baik dan saling pengertian.
Istri sebagai ibu rumah tangga. Seorang ayah selalu dikatakan sebagai kepala keluarga maka yang menjadi Kepala Rumah Tangga adalah seorang istri. Dalam perannya sebagai kepala rumah tangga terkandung fungsi pengelolaan/ manajemen. Peran yang utama adalah mengatur dan merencanakan kebutuhan rumah tangga, hidup sederhana, tidak kikir dan berorientasi ke masa depan.
Apabila peran-peran yang diberikan kepada seorang ibu/istri dijalankan sebaik mungkin maka akan memberikan dukungan kepada setiap anggota keluarga untuk dapat mengaktualisasikan dirinya secara optimal. Sebaliknya persoalan akan muncul manakala peran tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan, mungkin akan mengganggu ketentraman setiap anggota keluarga terutama mengganggu suami/beban tugas suami dan akhirnya akan menjadi beban mental/stress.
Karenanya, sebagai mana juga suami, maka istri sangat berpeluang melakukan dosa. Dosa utamanya ketika ia tidak taat kepada suaminya dalam kebaikan. Istri yang membangkang, tak hanya mengundang murka suami, tapi pasti murka Allah.
Karya ini tak mungkin rampung tanpa bantuan banyak pihak. Khusus kepada al-akh Zulkifli, terimakasih atas bantuannya menyiapkan bahan dan menulis sebagian buku ini. Semoga Allah mengganjar perbuatan kita dengan amal jariyah yang terus mengalirkan pahala meski tubuh kita suatu saat sudah berkalang tanah.
Untuk istri tercinta, terimakasih atas segala dukungan yang diberikan. Terimakasih untuk pengkondisian waktu, tempat dan segalanya sehingga di tengah kesibukan yang mengikat, buku ini ini bisa selesai, alhamdulillah. Buat buah hatiku tercinta: Arini Farhana Kamila, Ahmad Syauqi Banna, Alya Syakira dan Wafi Biahdillah, terima kasih untuk doanya.
Untuk teman-teman seperjuangan di Halaqah Az-Zumar, terimakasih untuk semua masukan. Terimakasih untuk diskusi dan pemikiran yang diberikan. Semoga kita bisa merangkai kebaikan sebagai modal menghadap Allah lalu menukarnya dengan surga yang telah dijanjikan.
Ya Allah, alhamdulillah atas karunia ini.

Bumi Ciluar, Bogor, Jawa Barat, Indonesia
20 Mei 2011/16 Jumadil Akhir 1432 H


Hepi Andi Bastoni, MA

Sabtu, 24 Desember 2011

MENGENAL GENERASI TABIIN


Mengenal Generasi Tabiin
Oleh: Hepi Andi Bastoni

Rp 98.000, SMS ke: 0817-1945-60
Semula saya mengira menyusun buku tentang tabiin itu lebih mudah. Paling tidak jika dibandingkan dengan penggarapan dua buku saya sebelumnya.[1] Saya menganggap lebih mudah karena jumlah tabiin tentu jauh lebih banyak dibandingkan dengan shahabat atau shahabiyat. Sebab, secara umum defenisi tabiin adalah mereka yang pernah bertemu dengan sahabat Nabi, masuk Islam dan meninggal dalam keadaan Muslim. Kalau jumlah sahabat Nabi lebih dari 12.000 orang,[2] maka jumlah tabiin tentu jauh lebih banyak. Apalagi, di antara mereka banyak yang sudah menyebar ke berbagai pelosok bumi.
Pada peristiwa Fathu Makkah jumlah sahabat Nabi mencapai 10.000 orang. Jumlah ini belum ditambah dengan mereka yang tinggal di Madinah dan mereka yang baru masuk Islam.[3]
Namun ternyata tidak. Mencari kisah generasi terbaik ketiga ini tak semudah yang diperkirakan. Ada beberapa kesulitan dalam menemukan kisah dan mengisahkan kembali sosok para tabiin ini.
Pertama, meski tidak terlalu mencolok, tapi di kalangan sejarawan, defenisi tabiin masih beragam. Al-Khathib al-Baghdadi, seorang ulama hadits dan sejarah asal Baghdad yang hidup pada abad ke-4, mengatakan, “Tabiin adalah orang yang menyertai seorang shahabat Rasul.” Namun, pengertian ‘menyertai’ tidak cukup dengan ‘pertemuan’ semata.[4] Ini berbeda dengan definisi ‘shahabat’ yang hanya cukup dengan ‘bertemu’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, berkumpul bersama beliau atau melihatnya. Sebab, semua peristiwa itu mempunyai pengaruh yang besar dalam perbaikan hati dan penjernihan jiwa, yang tentunya dengan kualitas dan kesiapan hati yang sangat berbeda dengan orang yang bertemu seorang shahabat dengan tanpa mengikuti langkah-langkahnya.
Sementara menurut para pakar hadits yang lain, “Tabiin adalah orang yang bertemu dengan seorang shahabat atau lebih meskipun belum pernah bersamanya.” Sedangkan Ibnu Hibban, seorang ahli hadits mensyaratkan seorang tabiin harus melihat shahabat Nabi pada usia dimana orang dapat menghapal hadits darinya. Dengan kata lain, seorang tabiin ketika bertemu para shahabat harus dalam usia mumayyiz (mampu membedakan baik dan buruk). Sebab, jika ia masih kecil, belum dapat menghafal hadits darinya, maka pernyataannya yang mengatakan bahwa ia telah melihat seorang shahabat tidak dianggap apa pun. Hal ini seperti dialami oleh Khalaf bin Khalifah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kategori Tabiut tabiin, bukan tabiin meskipun ia melihat sahabat Amr bin Huraits. Sebab, ketika melihatnya ia masih kecil, belum mumayyiz.
Namun, beberapa buku tetap memasukkannnya dalam katagori tabiin. Penyusun Ensiklopedi Islam, menyebutnya sebagai tabiin paling akhir yang pernah bertemu dengan Abu Thufail Amir bin Wa’ilah.[5] Penyusun sendiri tak memasukkan Khalaf bin Khalifah dalam buku ini.
Begitu juga dengan orang yang lahir di masa Nabi, tapi belum atau tidak berinteraksi dengan beliau. Maka, ia tak digolongkan shahabat, tapi tabiin. Dengan alasan inilah, maka Ahmad Khalil Jum’ah dalam bukunya Nisa’ Min ‘Ashrit Tabiin memasukkan Ummu Kultsum bintu Ali yang sekaligus merupakan istri Umar bin Khaththab, dalam kelompok tabiin. Padahal, ada yang menyebutkan, Ummu Kultsum lahir ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup. Bahkan, menurut Ahmad Khalil Jum’ah sendiri, beliaulah yang memberinya nama. Namun, beberapa buku lain, tak ada yang menyebutkan kelahiran Ummu Kultsum di masa Nabi. Penyusun sendiri memasukkan Ummu Kultsum bintu Ali dalam buku ini, dan menggolongkannya dalam katagori tabiin.
Namun, al-Iraqi mengritik definisi tabiin menurut Ibnu Hibban. Menurutnya,  Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan penjelasan tentang masalah ini dengan sabdanya,

لا يمس النار مسلما رآني أو رآى من رآني


Artinya, “Tidak akan disentuh api neraka seroang Muslim yang melihatku dan melihat seorang yang telah melihatku,” (HR Tirmidzi bab al-Manaqib an Rasululillah 3793).
Dalam pengertian hadits ini cukup dengan hanya ‘melihat’ seorang sahabat Nabi, maka seseorang sudah bisa digolongkan tabiin. Dengan demikian, jumlah tabiin, baik laki-laki maupun perempuan, tidak terhitung. Sebab, setiap orang yang melihat seorang shahabat adalah tabiin. Sementara Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat meninggalkan shahabat yang berjumlah ratusan ribu orang yang tersebar di berbagai wilayah yang berbeda-beda.
Umumnya, para ahli haditslah yang sangat perhatian dalam pendefinisian shahabat dan tabiin karena keduanya menjadi terpenting dalam mengenali manakah sanad hadits yang terputus dan tersambung.
Selain itu, kedudukan para tabiin juga bertingkat-tingkat (thabaqat) berdasarkan senioritas dan kualitas sahabat Nabi yang ia temui. Ibnu Sa’ad, misalnya mengelompokkannya dalam empat tingkatan. Sedangkan al-Hakim mengklasifikasikannya dalam 15 tingkatan.
Untuk tingkatan pertama, para ulama sepakat memberi batasan bahwa mereka adalah tabiin yang pernah berjumpa dan bersahabat dengan 10 Sahabat Nabi yang diberi kabar gembira masuk surga.[6] Tabiin yang paling awal meninggal adalah Abu Zaid Ma’mar bin Zaid yang wafat pada 30 Hijriyah.

Sedangkan tabiin paling akhir menurut al-Hakim adalah mereka yang sempat berjumpa dengan sahabat Nabi paling akhir wafat (man laqiya aakhira ash-shahabah mautan).Tabiin yang termasuk thabaqat ini adalah mereka yang berjumpa dengan Abu Thufail Amir bin Wa’ilah di Makkah, tabiin yang bertemu dengan as-Saib bin Yazid di penduduk Madinah, tabiin dari penduduk Bashrah yang bertemu dengan Anas bin Malik, tabiin dari penduduk Kufah yang bertemu Abdullah bin Abi Aufa, tabiin dari penduduk Mesir yang bertemu dengan Abdullah bin al-Harits bin Jaz’ dan tabiin dari penduduk Syam yang bertemu dengan Abu Umamah al-Bahili.[7]
Berdasarkan pendapat ini, maka tabiin paling akhir wafat adalah Khalaf bin Khalifah yang sempat bertemu dengan Abu Thufail di Makkah. Dengan demikian, periode tabiin berakhir pada 181 Hijriyah bersamaan dengan pemerintahan Harun ar-Rasyid (170-194 H) dari Bani Abbas.[8] Namun, ada juga yang mengatakan periode tabiin berakhir pada masa hidup Imam Abu Hanifah. Bahkan, beberapa ulama memperselisihkan, apakah Abu Hanifah termasuk tabiin atau bukan. Namun, jika dilihat dari tahun kelahirannya, sangat memungkinkan ia bersua dengan sahabat Nabi. Abu Hanifah lahir pada 80 Hijriyah di Kufah. Ia wafat pada Rajab 150 Hijriyah dalam usia 70 tahun.[9] Imam Abu Hanifah sendiri pernah mengaku pernah bertemu dengan tujuh sahabat Nabi.[10]
Membedakan antara sahabat Nabi dan tabiin memang agak susah. Misalnya, sosok Rabi’ bin Ziyad. Ada yang memasukkannya dalam deretan nama sahabat Nabi. Tapi, tak ada riwayat pasti tentang pertemuannya dengan Rasulullah. Bahkan, kiprahnya baru terlihat pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Ia datang ke Madinah pasca wafatnya Abu Bakar ash-Shiddiq. Wallahu A’lam. 

Tapi, lebih sulit lagi membedakan antara tabiin dan tabiut tabiin. Banyak tokoh yang jika dilihat dari interaksinya dengan para tabiin sangat intens. Tapi ternyata mereka tak pernah bertemu dengan sahabat Nabi sehingga tidak bisa digolongkan dalam kelompok tabiin. Termasuk dalam kelompok ini adalah tokoh seperti Sufyan bin Uyainah, Fudhail bin Iyyadh dan Sufyan ats-Tsauri serta Harun ar-Rasyid sendiri. Mereka adalah orang-orang yang hidup di masa tabiin, tapi tak sempat bertemu sahabat Nabi. 

Namun demikian, beberapa buku sempat memasukkan nama-nama ini pada deretan tabiin. Bahkan, dalam bukunya Siyar A’lamit Tabiin, Shabri bin Salamah Syahin memaparkan sejarah hidup al-Auza’i. Dilihat dari tahun kelahirannya memang memungkinkan ia bertemu sahabat Nabi. Al-Auzai lahir pada 88 Hijriyah dan wafat pada 157 Hijriyah. Namun, tak ada fakta jelas yang menyebutkan pertemuannya dengan sahabat Rasulullah saw. Karenanya, Imam Nawawi dalam bukunya Syarhu al-Muhadzdzab menyebutkan, “Adapun al-Auza’i ialah Abu Amr, Abdur Rahman bin Amr dari golongan Tabiit-Tabiin senior, dan imam yang brilian. Ia menjadi imam bagi penduduk Syam di zamannya.”[11]
Berkenaan dengan keutamaan para tabiin ini, al-Qur’an memberikan isyarat dalam firman-Nya,
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamunya. Itulah kemenangan yang besar,” (QS at-Taubat: 100).
Ini juga dikuatkan dengan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,

خير أمتي قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم


Artinya, “Sebaik-baik orang adalah mereka yang semasa denganku (dalam abad yang sama), kemudian generasi selanjutnya, dan generasi selanjutnya.” (HR Bukhari Muslim).[12]
Untuk memudahkan penulisan, yang penyusun lakukan pertama kali adalah me-list nama-nama tokoh yang pernah bertemu dengan para sahabat Nabi. Di sinilah penyusun menemukan kesulitan. Tidak gampang untuk menentukan apakah seorang tokoh itu sahabat, tabiin atau Tabiut tabiin. Banyak di antara mereka yang kalau dilihat dari tahun kelahirannya,[13] termasuk sahabat, seperti an-Najasyi. Ia hidup semasa dengan Nabi. Bahkan, ketika dia meninggal, Nabi melakukan shalat ghaib untuknya. Namun, tak pernah ada dalam catatan sejarah, bahwa ia bertemu dengan Nabi. Ia hanya berinteraksi dengan para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Karenanya, ia digolongkan tabiin dan termasuk tokoh yang dipaparkan dalam buku ini.
            Kedua, susahnya memisahkan antara kisah shahih dan dhaif (lemah) bahkan mungkin maudhu’ (palsu). Kalau dalam kisah para sahabat saja kita menemukan banyak penyimpangan dalam pemaparan kisah mereka, apalagi pada generasi tabiin. Yang bermasalah bukan para sahabat atau tabiinnya, tapi orang yang mengisahkannya pada kita. Banyak sekali ditemukan hadits-hadits atau kisah dhaif bahkan palsu yang menghiasi lembaran buku-buku sejarah. Tak terlalu mudah untuk memilah kisah-kisah itu, membuang yang dhaif atau palsu dan mengambil yang shahih.
            Ketiga, kisah tentang tabiin sudah banyak intervensi. Sebab, mereka hidup di masa suasana politik yang cukup komplek. Mereka dipaksa berpihak pada satu kelompok. Karenanya, tak terlalu mudah untuk memilih peristiwa yang tak hanya shahih, tapi juga objektif. Maksudnya, tanpa dibumbui oleh kepentingan salah satu pihak. Sosok Raja’ bin Haywah memang satu. Tapi kisahnya bisa beragam. Bagi yang sentimen, tentu menganggap tokoh ini sebagai sosok yang lengket dengan penguasa Bani Umayyah. Padahal, kedekatannya dengan penguasa justru sangat penting. Perannya dalam pemilihan dan pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah Bani Umayyah, sangat besar. Dialah yang melobi Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik untuk mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya.[14]
            Keempat, referensi tentang tabiin tak sebanyak shahabat atau shahabiyat. Kisah tentang mereka masih tercecer dalam buku-buku induk, berbaur dengan kisah tokoh lainnya yang bukan dari kalangan tabiin. Terasa agak sulit menelisiknya lalu menceritakannya kembali pada pembaca. Selain itu, sebagian besar biografi tabiin yang terekam dalam buku-buku sejarah, tidak utuh. Ia hanyalah penggalan kisah yang terpisah-pisah. Nah, sebenarnya tugas utama penyusun adalah memilah kisah-kisah itu dan merangkaikan sesuai urutan dan pasangannya.  
            Kelima, karena sejarah para tabiin ini masih banyak yang direkam buku-buku asli berbahasa Arab, maka menulis ejaan nama mereka, merupakan kesulitan tersendiri. Misalnya, ejaan nama Ayub as-Sukhtiyani atau as-Sakhtiayani, Abu Abdirahman as-Sulami atau as-Silmi, dan masih banyak nama-nama lain yang ejaannya memerlukan perhatian khusus.
            Selain itu, penggunaan Alim Lam Ta’rif di depan nama tokoh, kadang menyulitkan bacaannya. Dalam hal penyebutan lisan, penggunaan Alif Lam, terasa mengganggu. Kalau dilihat dari ejaan asli Arabnya, nama Khalifah Kedua Khulafaur Rasyidin adalah Umar bin al-Khaththab. Tapi, dalam buku-buku, biasanya tertulis Umar bin Khaththab (tanpa al-).
            Keberadaan al- akan terasa mengganggu kalau berada di awal nama. Dengan alasan itulah, agar lebih enak di telinga, sebagian al- itu dihilangkan. Seperti, ar-Rabbab bintu Imraul Qais ditulis Rabbab bintu Imraul Qais. Begitu juga dengan az-Zarqa’ bintu ‘Ady ditulis Zarqa’ bintu ‘Ady.
Ketujuh, para tabiin ini punya gelar, kun-yah atau nama lain. Sehingga boleh jadi dalam sebuah buku, yang disebutkan adalah namanya. Sedangkan dalam buku lain, yang ditulis gelar atau sukunya. Padahal, orangnya sama. Ini cukup menyulitkan. Ketika pertama kali membuat list nama para tabiin yang akan penyusun bahas, beberapa di antaranya terpaksa dicoret. Contoh: Shabri bin Salamah Syahin menyebutkan nama Abul Aliyah. Sedangkan Abdurahman Ra’fat Basya dan Abdul Mun’im al-Hasyimi menyebutkan Rufai bin Mihran. Padahal, Abul Aliyah dan Rufai bin Mihran satu orang. Amir bin Syurahbil adalah nama asli dari asy-Sya’bi. Al-A’masy nama aslinya adalah Sulaiman bin Mihran. Di beberapa buku ada yang menulis Dzakwan bin Kaisan. Tapi, di buku lainnya ditulis Thawus bin Kaisan. Jika tidak teliti, pemaparan dua nama itu bisa berulang. Padahal, sosoknya sama.
Lalu, mungkin muncul pertanyaan. Mengapa yang dipaparkan dalam buku ini hanya 101 tabiin saja? Bukankah jumlah mereka banyak? Benar. Angka 101 tidak ada apa-apanya. Seperti dua buku saya sebelumnya: 101 Sahabat Nabi (Pustaka al-Kautsar) dan 101 Wanita di Masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam (Robbani Press). Angka itu untuk memudahkan pembaca mengingat judul buku, tidak ada maksud apa-apa, apalagi sampai mengkeramatkannya.
Jika dibandingkan dengan jumlah para tabiin, angka 101 memang tak terlalu banyak, bahkan teramat sedikit. Namun, kalau kita runut buku-buku sejarah para tabiin, belum ada yang mencapai angka itu. Apalagi yang berbahasa Indonesia. Kalau pun ada, masih berbahasa Arab dan jumlahnya belum mencapai seratus orang.
Misalnya, buku Min A’lamis Salaf yang disusun oleh Ahmad bin Abdullah an-Namlah hanya memaparkan delapan sosok tabiin. Abdurahman Ra’fat Basya menulis tak lebih dari 30 tabiin saja dalam bukunya Shuwar Min Hayatit Tabiin. Shabri bin Salamah Syahin menulis cukup banyak. Dalam bukunya Siyar A’lamit Tabiin ia menulis 40 tabiin.
Pemaparan para penulis itu pun beragam. Ada yang hanya menulis penggalan atau potongan kisah saja dari sejarah hidup para tabiin itu. Metode ini bisa ditemukan pada buku Shuwar Min Siyarit Tabiin karangan Azhari Ahmad Mahmud. Ada juga yang lebih banyak memuat penggalan komentar dari para ulama tentang tokoh tertentu, seperti dilakukan Shabri bin Salamah Syahin dalam karyanya Siyar A’lamit Tabiin.
Namun, ada juga yang menulis cukup rinci: nama, nasab, pekerjaan, dan kronologis perjalanan hidup mereka. Ini yang dilakukan oleh Abdul Mun’im al-Hasyimi. Bahkan, dalam bukunya ‘Ashrut Tabiin, ia mengelompokkan para tabiin itu berdasarkan asal atau profesi mereka. Misalnya, Sa’id bin al-Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurahman, Qasim bin Muhammad, Ubaidillah bin Abdullah, Sulaiman bin Yasar, dan Kharijah bin Zaid, ia kelompokkan dalam bab Fuqaha’ al-Madinah as-Sab’ah (Tujuh Ahli Fiqhi Madinah).
Sedangkan az-Zuhri, Syuraih al-Qadhi, Muhammad bin Sirin, Atha’ bin Abi Rabah, Raja’ bin Haywah, dan asy-Sya’bi, dia kumpulkan dalam bab Masyahirul Qudhah (Para Hakim Ternama). Dalam bab Ahlus Saifi wal Qalam (Pemiliki Pedang dan Pena), Abdul Mun’im al-Hasyimi memaparkan sejarah hidup delapan tabiin. Mereka adalah Said bin Jubair, Rabi’atur Ra’y, Salamah bin Dinar, Muhammad bin Wasi’ al-Azadi, Thawus bin Kaisan, Shilah bin Asyyam, Salim bin Abdullah, dan Rufai’ bin Mihran. Namun, lagi-lagi tokoh yang dia tulis tak semuanya tabiin. Di antara mereka adalah tabiut tabiin.
Selebihnya, kisah tentang para tabiin masih tercecer di buku-buku ‘besar’, seperti Siyar A’lamin Nubala karangan adz-Dzahabi, al-Isti’ab fi Asma’il Ashhab karangan Ibnu Abdil Bar, al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah karangan Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Bidayah wan Nihayah karangan Ibnu Katsir dan beberapa buku lainnya.
Nah, dalam buku ini penyusun berusaha merangkai ceceran yang berserakan itu, dan menyatukannya dalam satu simpul agar mudah dipahami. Tentu dengan menggunakan bahasa yang membumi, tidak menerjemahkan atau mengutip mentah. Dengan demikian, bahasanya mengalir dan enak dibaca. Terkait dengan penyusunan buku ini, ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Di antaranya:
Dalam penulisan sebagian kisah tabiin, terpaksa harus melibatkan perjalanan tabiin lain. Dengan demikian, ada kesan pengulangan. Tapi hal ini tak bisa dihindari. Apalagi kalau sebagian besar dari mereka tak hanya hidup dalam masa, tapi juga satu tempat. Di antara mereka ada ikatan ayah dan anak, guru dan murid serta teman seperguruan.
Pendeknya, karena mereka memang hidup satu masa, persinggungan kisah di antara mereka tak bisa dihindari. Karenanya, seperti disebutkan di atas, ketika membaca kisah salah seorang di antara mereka, akan terasa ada pengulangan lantaran pernah disebutkan pada kisah yang lain.
Selain itu, interaksi para tabiin dengan sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat beragam. Ada yang sedikit ada yang banyak. Ini juga memengaruhi penulisan sejarah hidup mereka. Karenanya, dalam penulisan karya ini, penuturan tentang mereka pun beragam. Ada yang panjang dan ada yang singkat. Hal ini bisa disebabkan beberapa hal. Bisa jadi karena interaksi mereka dengan para sahabat memang sedikit, atau karena keterbatasan penyusun sendiri dalam menemukan referensi. Atau karena memang tokoh itu sudah dikenal sehingga tak perlu pemaparan banyak. Hanya yang penting-penting saja. Inilah yang menyebabkan mengapa terjadi perbedaan jumlah halaman dalam penulisan mereka.
Sikap netral dan memaparkan apa adanya, adalah upaya paling utama yang penyusun kedepankan. Karenanya, ketika para tabiin menyikapi berbagai persoalan tentang para sahabat Nabi, terutama pasca terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, hingga berdirinya Daulat Umayyah, penyusun berusaha memaparkannya seobjektif mungkin, tidak berpihak dan berusaha menjaga “kesucian” para sahabat itu. Prinsipnya, tak mungkin para sahabat atau sahabiyah yang sebagian besar telah dijamin masuk surga dan termasuk orang yang terdekat, bahkan bergaul langsung dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan tindakan di luar batas yang diatur agama. Andai terjadi, tentu termasuk hal yang bisa dipahami dan tidak mengurangi jasa mereka terhadap Islam.
Menarik jawaban Sulaiman bin Mahran ketika Khalifah Hisyam bin Abdul Malik memintanya untuk menulis kebaikan Utsman bin Affan dan keburukan Ali. Dengan tegas Sulaiman menjawab, “Seandainya Utsman memiliki keutamaan bagi penduduk bumi, itu takkan bermanfaat bagimu. Seandainya Ali bin Abi Thalib mempunyai keburukan, itu pun takkan membahayakanmu. Uruslah dirimu sendiri.”[15]
Tak bisa dipungkiri, dengan berbagai motif, di beberapa buku sejarah sering kita menemukan sosok yang menjadi pahlawan, namun tak jelas sumbernya. Namun, masyarakat sudah kadung yakin dan mempercayainya. Misalnya, Su’da bintu Abdurahman dan Atikah bintu Muawiyah. Kedua wanita itu sering disebut-sebut dalam buku-buku sejarah. Padahal, baik Abdurahman bin Auf maupun Muawiyah tak pernah memiliki anak bernama Su’da dan atau Atikah.[16]




[1]  Yaitu, buku 101 Sahabat Nabi (Pustaka al-Kautsar, Cet I, September 2002) dan 101 Wanita Teladan di Masa Rasulullah (Robbani Press, Cet I, Maret 2004).
[2] Al-Kawakib ad-Durriyah, al-Haddad bin ali al-Husaini, 37
[3] Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakfury
[4] Ensiklopedi Islam, PT Ikrar Mandiriabadi, Cetakan ke-6, Jilid 5 halaman 23.
[5] Ensiklopedi Islam, PT Ikrar Mandiriabadi, Cetakan ke-6, Jilid 5 halaman 23.
[6] Kesepuluh sahabat itu adalah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurahman bin Auf, dan Abu Ubaidah bin Jarrah.
[7] Nisa’ Min ‘Ashrit Tabiin, Ahmad Khalil Jum’at, Mukaddimah, 6.
[8] Ensiklopedi Islam, PT Ikrar Mandiriabadi, Cetakan ke-6, Jilid 5 halaman 23.
[9] Maulidu Ulama wa Wafayatuhum: Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Sulaiman, Riyadh: Darul ‘Ashimah, Cetakan Pertama, 1410 H halaman 1/356
[10] Baca: Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, KH Moenawar Chalil, Bulan Bintang, Cetakan Kesembilan Jakarta 1994 halaman 22. Penulis buku ini merinci tujuh sahabat yang pernah bertemu dengan Abu Hanifah.
[11] Lebih detil tentang sosok Imam al-Auza’I, baca Siyar A’lamit Tabiin karya Shabri bin Salamah Syahin halaman 329-342.
[12] Diriwayatkan dari Imran bin Hushain. Lihat al-Lu’lu wal Marjan, Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi, 3/181, Dar ar-Rayyan, Kairo.
[13] Untuk referensi tahun kelahiran dan kematian tokoh, penulis sering merujuk buku Masyahiru ‘Ulamail Amshar karangan Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim at-Tamimi, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1959. Buku ini mengelompokkan para tokoh berdasarkan tempat.
[14] Shuwar Min Hayatit Tabiin, Abdurahman Ra’fat Basya, 164-166.
[15] Shuwar Min Siyarit Tabiin, Azhari Ahmad Mahmud, 170-171.
[16] Banaatush Shahabat, Ahmad Khalil Jum’ah.