Pilih Rumah Kontrakan atau Rumah Sendiri?
Oleh: Hepi Andi Bastoni *
Bagi para
perantau, istilah rumah kontrakan tak mungkin asing. Tentu saja dengan aneka
bentuk dan pilihan serta suka dan dukanya. Nah, meski tak terlalu tepat,
sepertinya menarik kalau kita bandingkan istilah ‘rumah kontrakan’ dengan perusahaan
tempat bekerja.
Menurut
pengalaman mereka yang berhasil menaikkan status diri dari quadrant employee
(sebagai karyawan) ke quadrant business owner (pengusaha), hidup sebagai
karyawan tak ubah seperti pengontrak rumah. Suka duka rumah kontrakan persis
dengan pahit manis hidup sebagai karyawan.
Orang yang
bekerja sebagai karyawan, tak ubah seperti pengontrak rumah. Ia numpang
berteduh, numpang makan, dan membesarkan keluarga. Bedanya, kalau pemilik rumah
memberikan fasilitas tempat berteduh dengan makna sebenarnya, pemilik
perusahaan memberikan tempat teduh berupa honor bulanan dan fasilitas
perusahaan. Kalau pengontrak rumah harus membayar dengan uang karena telah
diberi fasilitas rumah, karyawan mesti membayar dengan keringat dan kerja keras
atas imbalan yang diberikan pemilik perusahaan. Masing-masing waktu pemberian
imbalan itu pun dibayar sama: setiap akhir bulan.
Jika tak mau
diusir, pengontrak rumah mesti membayar uang kontrakan. Persis seperti
karyawan. Ia harus bekerja keras, tak boleh terlambat (bahkan sebagian
perusahaan memberikan sanksi kepada karyawannya yang terlambat meski kerjanya
bagus), kerja profesional (baca: sesuai kemauan pemilik perusahaan), kerja
lembur (kadang) untuk memikirkan dan membesarkan atau menyelamatkan ‘rumah’
sang pemilik perusahaan. Seorang karyawan juga harus taat aturan, termasuk cara
berpakaian (Ada sebuah perusahaan yang memberikan sanksi lantaran karyawannya
lupa menggunakan seragam. Ada juga seorang karyawan yang disuruh pulang karena
mengenakan sepatu sandal). Pulang kantor tak boleh lebih cepat dari ketentuan,
tapi kalau terlambat pulang tak diberikan sanksi sebagaimana kalau dia datang terlambat
(bahkan banyak perusahaan yang tidak memberikan uang lembur bagi karyawannya
yang dipaksa kerja melebihi jam kerja). Tak jarang juga para karyawan yang
harus membawa bantal, sikat gigi, handuk karena mesti menginap di kantor,
(sekali lagi untuk bekerja buat pemilik perusahaan).
Persis seperti
pengontrak rumah, sebagian karyawan juga banyak yang selalu dirundung was-was.
Khawatir tak bisa membayar kontrakan setiap akhir bulan, takut kalau tiba-tiba
pemilik rumah mengusir dengan alasan tidak jelas, takut jangan-jangan rumahnya
ambruk atau terjual atau tergusur. Atau, khawatir kalau tiba-tiba sang pemilik
rumah seenaknya menaikkan bayaran bulanan!
Sebagian
karyawan juga diliputi hal serupa. Khawatir tak mendapat honor (gaji) pada
setiap akhir bulan, takut kalau tiba-tiba pemilik perusahaan mengusir dengan
alasan tidak jelas (sekarang lagi musim tuh, para bos memecat anak
buahnya dengan alasan semaunya), takut jangan-jangan perusahaannya ambruk,
bangkrut, atau dijual ke orang lain. Atau, khawatir kalau tiba-tiba sang
pemilik perusahaan seenaknya menurunkan gaji bulanan!
Lalu, bagaimana
dengan mereka yang hidup di rumah sendiri? Meski mungkin di awal-awal
kondisinya tidak lebih baik dari rumah kontrakan, paling tidak ia tak perlu
khawatir akan diusir. Ia juga bebas mau merenovasi, cat ulang, mengganti pintu
yang rusak, menambah kamar lagi, atau mau meningkatkan bangunan rumahnya menjadi
dua atau sekian tingkat. Hal yang tak mungkin dilakukan para pengontrak rumah.
Begitu juga
nasib para pengusaha. Mungkin di awal-awal mendirikan usaha, ia belum
mendapatkan fasilitas mewah sebagai mana para karyawan yang sudah bekerja
puluhan tahun. Tapi, ibarat rumah, ia sudah menjadi miliknya sendiri. Ia tidak
lagi sedang memikirkan rumah orang lain. Seandainya ia harus lembur atau kerja
keras, ia sedang membangun rumahnya. Bukan rumah orang lain.
Kalau pun ia
harus mengecat ulang dinding, atau memperbaiki kamar mandi, atau membetulkan
atap yang bocor, atau mengganti jendela, ia sedang memperbaiki rumahnya
sendiri. Bukan rumah orang lain. Seandainya ia harus banting tulang, naik ke
atas atap rumahnya, jatuh, keseleo, atau mungkin mesti dirawat di rumah sakit,
ia tidak sedang bekerja untuk memperbaiki rumah orang lain. Ia bekerja untuk
rumahnya sendiri.
Apakah, ia tidak khawatir suatu saat rumahnya
akan ambruk? Tentu! Sama persis dengan seorang karyawan yang juga tidak bisa
menjamin apakah ‘rumah’ bosnya tidak akan ambruk!
Sekarang pilihan
ada di depan mata: mau tetap terus hidup mengontrak atau merintis rumah
sendiri? Atau menunggu usia tua, suatu saat terusir dari ‘rumah kontrakan’ dan
tak sanggup lagi membangun rumah sendiri.
Yang ironisnya,
kalau Anda saat ini hidup dalam dua kontrakan: pengontrak kerja (sebagai
karyawan) dan pengontrak rumah dengan makna sebenarnya! Hm... Fa’tabiru ya
ulil albab!
*Seorang
laki-laki yang sedang membangun rumahnya sendiri
jazaakumullah khoirol jazaaa...saya sedang berada di tahapan awal "membangun rumah sendiri" pak. Semoga suatu saat bisa benar-benar menjadi jalan untuk membangun rumah sendiri dengan makna sebenarnya a.k.a. gak ngontrak rumah lagi. Izin share ya Pak
BalasHapusSilakan. Semoga bisa memberikan insiprasi kepada semakian banyak orang di negeri ini supaya bisa punya 'rumah sendiri'.
BalasHapus