Kamis, 29 Desember 2011

PILIH RUMAH KONTRAKAN ATAU RUMAH SENDIRI


           


Pilih Rumah Kontrakan atau Rumah Sendiri?
Oleh: Hepi Andi Bastoni *

Bagi para perantau, istilah rumah kontrakan tak mungkin asing. Tentu saja dengan aneka bentuk dan pilihan serta suka dan dukanya. Nah, meski tak terlalu tepat, sepertinya menarik kalau kita bandingkan istilah ‘rumah kontrakan’ dengan perusahaan tempat bekerja.
Menurut pengalaman mereka yang berhasil menaikkan status diri dari quadrant employee (sebagai karyawan) ke quadrant business owner (pengusaha), hidup sebagai karyawan tak ubah seperti pengontrak rumah. Suka duka rumah kontrakan persis dengan pahit manis hidup sebagai karyawan.
Orang yang bekerja sebagai karyawan, tak ubah seperti pengontrak rumah. Ia numpang berteduh, numpang makan, dan membesarkan keluarga. Bedanya, kalau pemilik rumah memberikan fasilitas tempat berteduh dengan makna sebenarnya, pemilik perusahaan memberikan tempat teduh berupa honor bulanan dan fasilitas perusahaan. Kalau pengontrak rumah harus membayar dengan uang karena telah diberi fasilitas rumah, karyawan mesti membayar dengan keringat dan kerja keras atas imbalan yang diberikan pemilik perusahaan. Masing-masing waktu pemberian imbalan itu pun dibayar sama: setiap akhir bulan.
Jika tak mau diusir, pengontrak rumah mesti membayar uang kontrakan. Persis seperti karyawan. Ia harus bekerja keras, tak boleh terlambat (bahkan sebagian perusahaan memberikan sanksi kepada karyawannya yang terlambat meski kerjanya bagus), kerja profesional (baca: sesuai kemauan pemilik perusahaan), kerja lembur (kadang) untuk memikirkan dan membesarkan atau menyelamatkan ‘rumah’ sang pemilik perusahaan. Seorang karyawan juga harus taat aturan, termasuk cara berpakaian (Ada sebuah perusahaan yang memberikan sanksi lantaran karyawannya lupa menggunakan seragam. Ada juga seorang karyawan yang disuruh pulang karena mengenakan sepatu sandal). Pulang kantor tak boleh lebih cepat dari ketentuan, tapi kalau terlambat pulang tak diberikan sanksi sebagaimana kalau dia datang terlambat (bahkan banyak perusahaan yang tidak memberikan uang lembur bagi karyawannya yang dipaksa kerja melebihi jam kerja). Tak jarang juga para karyawan yang harus membawa bantal, sikat gigi, handuk karena mesti menginap di kantor, (sekali lagi untuk bekerja buat pemilik perusahaan).
Persis seperti pengontrak rumah, sebagian karyawan juga banyak yang selalu dirundung was-was. Khawatir tak bisa membayar kontrakan setiap akhir bulan, takut kalau tiba-tiba pemilik rumah mengusir dengan alasan tidak jelas, takut jangan-jangan rumahnya ambruk atau terjual atau tergusur. Atau, khawatir kalau tiba-tiba sang pemilik rumah seenaknya menaikkan bayaran bulanan!
Sebagian karyawan juga diliputi hal serupa. Khawatir tak mendapat honor (gaji) pada setiap akhir bulan, takut kalau tiba-tiba pemilik perusahaan mengusir dengan alasan tidak jelas (sekarang lagi musim tuh, para bos memecat anak buahnya dengan alasan semaunya), takut jangan-jangan perusahaannya ambruk, bangkrut, atau dijual ke orang lain. Atau, khawatir kalau tiba-tiba sang pemilik perusahaan seenaknya menurunkan gaji bulanan!
Lalu, bagaimana dengan mereka yang hidup di rumah sendiri? Meski mungkin di awal-awal kondisinya tidak lebih baik dari rumah kontrakan, paling tidak ia tak perlu khawatir akan diusir. Ia juga bebas mau merenovasi, cat ulang, mengganti pintu yang rusak, menambah kamar lagi, atau mau meningkatkan bangunan rumahnya menjadi dua atau sekian tingkat. Hal yang tak mungkin dilakukan para pengontrak rumah.
Begitu juga nasib para pengusaha. Mungkin di awal-awal mendirikan usaha, ia belum mendapatkan fasilitas mewah sebagai mana para karyawan yang sudah bekerja puluhan tahun. Tapi, ibarat rumah, ia sudah menjadi miliknya sendiri. Ia tidak lagi sedang memikirkan rumah orang lain. Seandainya ia harus lembur atau kerja keras, ia sedang membangun rumahnya. Bukan rumah orang lain.
Kalau pun ia harus mengecat ulang dinding, atau memperbaiki kamar mandi, atau membetulkan atap yang bocor, atau mengganti jendela, ia sedang memperbaiki rumahnya sendiri. Bukan rumah orang lain. Seandainya ia harus banting tulang, naik ke atas atap rumahnya, jatuh, keseleo, atau mungkin mesti dirawat di rumah sakit, ia tidak sedang bekerja untuk memperbaiki rumah orang lain. Ia bekerja untuk rumahnya sendiri.
 Apakah, ia tidak khawatir suatu saat rumahnya akan ambruk? Tentu! Sama persis dengan seorang karyawan yang juga tidak bisa menjamin apakah ‘rumah’ bosnya tidak akan ambruk!
Sekarang pilihan ada di depan mata: mau tetap terus hidup mengontrak atau merintis rumah sendiri? Atau menunggu usia tua, suatu saat terusir dari ‘rumah kontrakan’ dan tak sanggup lagi membangun rumah sendiri.
Yang ironisnya, kalau Anda saat ini hidup dalam dua kontrakan: pengontrak kerja (sebagai karyawan) dan pengontrak rumah dengan makna sebenarnya! Hm... Fa’tabiru ya ulil albab!

*Seorang laki-laki yang sedang membangun rumahnya sendiri

2 komentar:

  1. jazaakumullah khoirol jazaaa...saya sedang berada di tahapan awal "membangun rumah sendiri" pak. Semoga suatu saat bisa benar-benar menjadi jalan untuk membangun rumah sendiri dengan makna sebenarnya a.k.a. gak ngontrak rumah lagi. Izin share ya Pak

    BalasHapus
  2. Silakan. Semoga bisa memberikan insiprasi kepada semakian banyak orang di negeri ini supaya bisa punya 'rumah sendiri'.

    BalasHapus