Harga Rp 60.000. SMS ke: 0817-1945-60 |
Di
antara cara untuk menghidupkan kembali semangat kebangkitan umat Islam adalah
mengingatkan mereka dengan sejarah keemasannya. Mereka yang kehilangan sejarah,
ibarat orang kehilangan ayah.
Kaum Muslimin pernah mengalami kejayaan. Di antara masa
kejayaan itu terjadi ketika mereka berada di bawah payung khilafah, berselimut
syariat dan menghirup udara segar ajaran Islam. Meski terdapat beragam
‘catatan’ pada masa kemilau umat Islam ini, tapi tak bisa dipungkiri sinar kejayaan
itu pernah bercahaya.
Setelah Rasulullah saw wafat, pemerintahan Islam dikendalikan
Khulafaur Rasyidin. Merekalah generasi terbaik yang melanjutkan tongkat estafet
dakwah hingga kita bisa mengecap nikmatnya hingga kini. Khalifah Abu Bakar
ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib telah menancapkan
pondasi kejayaan umat Islam yang sebelumnya dipancangkan Rasulullah saw.
Purna kepememimpinan Khulafaur Rasyidin, bahtera dakwah
dinakhodai oleh Bani Umayyah. Tak seperti pada era Abu Bakar ash-Shiddiq hingga
Ali bin Abi Thalib, estafet kepemimpinan di masa Dinasti Umayyah berlangsung
secara turun temurun. Sebanyak 14 khalifah berurutan mengendalikan tampuk
kekuasaan. Sejarah berlangsung secara alami. Ada di antara mereka yang berhasil
mengembangkan kekuasaan dengan semerbak nama yang hingga kini masih mewangi.
Tapi ada juga yang mencemari kemuliaan kaum Muslimin dengan perilaku yang sama
sekali tak dibenarkan Islam.
Pada
masa inilah kekuasaan Islam mengalami perluasan sampai ke Persia dan sebagian
daerah Bizantium. Panglima Thariq bin Ziyad berhasil mendaratkan pasukannya di
dataran Spanyol, Eropa. Pada masa ini juga lahir para tokoh yang namanya kini
masa abadi. Sebut misalnya, Sibawaih yang mengarang kitab yang menjadi pegangan
dalam masalah tata bahasa Arab.
Di bidang seni lahir para sastrawan seperti Umar bin Abi
Rabi’ah, Qais bin Mulawwah yang terkenal dengan Lailah-Majnunah-nya. Di
bidang pembangunan fisik pun tidak luput dari perhatian para khalifahnya.
Masjid-masjid di luar Semenanjung Arab dibangun. Masjid Nabawi di Madinah
direnovasi hingga hasilnya masih bisa kita nikmati sampai hari ini.
Khilafah yang memusatkan kekuasaannya di Damaskus, Syiria
ini, berdiri selama kurun cukup lama: sekitar 90 tahun (40 – 133 H/ 661 – 750
M). Diawali dengan khalifah pertamanya Muawiyyah bin Abu Sufyan, sahabat
sekaligus salah seorang pencatat wahyu Rasulullah saw. Era pemerintahan Dinasti
Umayyah ini diakhiri oleh Marwan bin Muhammad.
Setelah itu, khilafah Bani Ummayah punya perpanjangan
silsilah. Satu dari keturunannya berhasil menyelamatkan diri lalu menyeberang
ke Semenanjung Iberia dan masuk ke Spanyol. Di sana, Abdurahman ad-Dakhil menancapkan
tonggak khilafah tersendiri yang terlepas dari khilafah besar Bani Abbasiyah di
Baghdad. Dialah yang menjadi cikal bakal berdirinya Daulat Umayyah di Cordoba
yang puing keperkasaannya masih tersisa hingga kini.
Dari
tangan Bani Umayyah di Damaskus, kekhilafahan beralih ke pangkuan Bani
Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Khalifah pertama dari Dinasti yang berkuasa
selama setengah abad ini adalah Abul Abbas as-Safah. Dalam rentang waktu itu,
umat Islam kembali membentangkan sayap kejayaannya.
Pada
masa pemerintahan Bani Abbas inilah peradaban Islam mencapai puncaknya. Berbagai
bidang ilmu tumbuh subur. Ilmu kedokteran, astronomi, optik, aljabar dan
lainnya, berkembang pesat. Setiap kali menyebut Baghdad, kalangan Barat tak
bisa melupakan sebuah buku yang berjudul Thousand and one Night atau Alfu
Lailah wa Lailah (1001 Malam). Sebuah kisah yang dinisbatkan dengan
Khalifah Harun ar-Rasyid.
Sebagaimana
diungkapkan Philip K Hitti dalam karyanya History of The Arab, peradaban
umat Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid, jauh melampaui
peradaban Nasrani pimpinan Charlemagne. Dikisahkan, suatu ketika Harun
ar-Rasyid mengirimkan hadiah berupah jam kepada Charlemagne. Alat penunjuk
waktu yang setiap kalinya berdenting itu, membuat heran Charlemagne. Ia mengira
dalam jam itu ada jinnya!
Di
tengah rapuhnya kekuasaan Islam di Baghdad akibat intrik politik dan
pertarungan politik para penguasanya, pasukan Tartar pimpinan Hulagu Khan,
menyerbu Baghdad dan melakukan pembantaian! Tragedi 656 itu (terjadi pada 656
H), tak hanya membuat hancur Kota Baghdad dan Khalifah al-Musta’shim
sekeluarga, tapi juga memunahkan Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Kota Seribu Satu
Malam itu hancur menyisakan puing peradaban. Khilafah Abbasiyah yang gagah
perkasa, takluk.
Namun
sejarah masih menyisakan bibitnya. Kalau Abdurahman ad-Dakhil berhasil
meloloskan diri ke Spanyol dan mendirikan dinasti di tempat itu, maka seorang
keturunan Bani Abbas berhasil menyelamatkan diri dari keganasan pasukan Tartar.
Al-Mustanshir Billah II meluputkan diri ke Mesir dan berhasil mendirikan
dinasti di Negeri Fir’aun itu. Meskipun wewenangnya tidak besar, tapi para
penguasa setempat merasa mendapatkan kehormatan jika direstui oleh Khalifah
yang berada di Mesir itu. Bahkan, Sultan Bayazid I dari Daulat Utsmaniyah
merasa perlu meminta restu dari Khalifah di Mesir.
Pada
1517 M, Sultan Salim I dari Turki Utsmani
berhasil mengalahkan Kekhalifahan Mamluk dan menjadikan Mesir bagian dari kekuasannya.
Al-Mutawakkil yang merupakan khalifah terakhir dari 18 khalifah Abbasiyah di
Mesir, dibawa ke Istanbul dan terjadilah
timbang terima resmi jabatan khilafah. Sejak saat itu, para penguasa Turki
Utsmani dipanggil juga dengan khalifah yang sebelumnya mereka menamakan diri
sebagai sultan.
Dengan
demikian, berakhirlah era kekuasaan Daulat Abbasiyah di Mesir. Tongkat
kekhalifahan beralih ke tangan penguasa Turki Utsmani. Sebagian sejarawan,
menganggap para penguasa di Istanbul ini bukan khalifah tapi kesultanan. Namun
tak bisa dihindari, yang berkuasa penuh kala itu adalah kesultanan Turki
Utsmani.
Para
penguasa kaum Muslimin di beberapa wilayah, menyatakan tunduk kepadanya. Karenanya,
tidak salah kalau pemerintahan Turki Utsmani adalah kekhalifah Islam yang diakui
kaum Muslimin secara keseluruhan. Hal ini berlangsung hingga 3 Maret 1924
ketika Presiden Pertama Turki Sekular Mushtafa Kemal Pasha Ataturk, menghapus
sistem khilafah dari muka bumi dan menggantinya dengan sistem sekular hingga
kini.
Ada
begitu banyak analisa para pemikir dan pengamat tentang sebab jatuhnya khilafah
Turki Utsmani pada 1924, baik yang bersifat lebih teknis maupun sebab-sebab
yang bersifat lebih umum. Secara teknis kita serahkan kepada para ahli sejarah,
terutama sejarah Turki sendiri. Sedangkan secara umum, bisa dipengaruhi dua
sisi.
Pertama, sebab
eksternal. Khilafah Turki Utsmani kalah pada perang dunia pertama.
Sebagai negara yang kalah perang, maka negeri itu dengan mudah ditindas,
dirampok dan juga diperebutkan wilyahnya oleh para pemangsa dan lawan-lawannya.
Sampai terjadi penghinaan yang begitu besar, di mana
bangsa Turki yang secara geografis memang penduduk Eropa dilecehkan dengan
ungkapan "The Sickman in Europe." Bahkan kata
"turkey" dalam ungkapan mereka merupakan pelecehan, yang artinya ayam
kalkun.
Kedua, sebab
internal. Penjajahan Barat terhadap Turki semakin menusuk tatkala mereka
berhasil meraih generasi muda Turki dengan pendidikan ala Barat. Tentu saja
semua itu untuk mendapatkan satu tujuan, yaitu sekularisasi selapis generasi.
Maka lahirlah kemudian generasi baru yang anti Islam, Islamo-phobia, sekular,
liberal dan berotak Barat.
Mereka inilah yang didukung Eropa untuk menumbangkan
lembaga khilafah Islamiyah. Tercatat tokohnya Mustafa Kemal Ataturk yang
terlaknat. Sosok ini berhasil menumbangkan khilafah pada 1924 lewat gerakan
Turki Muda.
Sayangnya, hunjaman belati mematikan ini justru masuk ke
dalam pelajaran sejarah di negeri kita sebagai kebangkitan, bukan sebagai
kejahatan. Jaring-jaring kerja bangsa-bangsa kafir itu sedemikian luas,
sehingga sosok Kemal Ataturk yang zalim justru muncul dalam buku sejarah kita
sebagai pahlawan.
Padahal Kemal telah melakukan dosa yang bahkan iblis pun
tidak pernah melakukannya. Yaitu menumbangkan satu rangkaian khilafah. Padahal
belum pernah sebelumnya umat Islam di dunia hidup tanpa naungan khilafah.
Khilafah sudah ada sejak 15 abad lalu. Selama itu, umat
Islam belum pernah hidup tanpa khilafah. Iblis dan para jin tidak pernah mampu
menumbangkannya. Tiba-tiba seorang sekularis yang nota bene agamanya
masih Islam, malah menumbangkannya. Walhasil, sejak jatuhnya khilafah Turki,
umat Islam masuk dalam bid'ah kubra. Sebuah bid'ah teramat besar
yang melebihi semua jenis bid'ah yang ada. Tentunya sangat dibenci dan
dimurkai. Sebuah bid'ah berupa umat Islam hidup tanpa naungan khilafah.
Buku
ini tidak menganalisa sabab musabab jatuh bangunnya kejayaan itu. Karya
ini menyajikan profil para khalifah enam “dinasti” itu: Khulafaur Rasyidin,
Daulah Umayyah di Damaskus, Daulah Abbasiyah di Baghdad, Daulah Abbasiyah di
Mesir, Daulah Utsmaniyah di Istanbul dan Daulah Umayyah di Cordoba. Kisah
mereka dituturkan secara kronologis dan objektif. Kronologis sesuai masa
pemerintahan mereka, dan objektif apa adanya.
Ada
beberapa buku induk yang dijadikan referensi dalam menyusun buku ini. Di
antaranya, buku al-Kamil fit Tarikh karya Ibnul Atsir. Buku ini menarik dijadikan
referensi karena penulisnya termasuk pelaku sejarah itu sendiri. Bahkan, Ibnul
Atsir sempat berinteraksi dengan sebagian khalifah Daulah Abbasiyah.
Ibnul
Atsir yang nama aslinya Izzudin Abul Hasan Ali bin Atsir lahir pada 1160 M dan
wafat pada 1234 M. Sedangkan al-Mustanshir, khalifah ke-36 dari Daulah
Abbasiyah di Baghdad, lahir sekitar 1191 M dan wafat pada 1243 M. Menurut
Ferdinand Tottle dalam Munjid fil Adabi, karya Ibnul Atsir yang terbesar
adalah kitab al-Kamil fit Tarikh yang memaparkan sejarah dari zaman
purbakala hingga tahun 1230 M atau beberapa tahun sebelum Ibnul Atsir wafat.
Dalam kitabnya al-Kamil, masih ditemukan tulisannya yang memaparkan
peristiwa yang terjadi pada 628 H. Sedangkan Ibnul Atsir wafat sekitar 631 H.
Buku
lainnya adalah Tarikhul Khulafa’ karya Imam Suyuthi. Buku ini juga tak
kalah menarik karena ditulis oleh ‘pelaku’ sejarah. Pemilik nama lengkap Abdurahman
bin Kamaluddin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin, Jalaluddin al-Misri
as-Suyuthi asy-Syafi`i ini, lahir pada 1 Rajab 849 H/1445
M dan wafat pada 911H /1505 M. Dia adalah ulama dan cendekiawan Muslim
yang hidup pada abad 15 di Kairo,
Mesir.[1]
Semasa
hidupnya, Imam Suyuthi menulis banyak buku tentang berbagai hal, seperti
hadits, tafsir, bahasa, hukum Islam dan lainnya. Salah satu kitabnya yang
terkenal adalah Tafsir al-Jalalain
yang ia tulis bersama Jalaluddin al-Mahalli.
Di
antara karyanya juga adalah Tarikhul Khulafa’. Menariknya, karena Imam
Suyuthi hidup di pengujung pemerintahan Khilafah Abbasiyah di Mesir. Ia sempat
semasa dengan Khalifah al-Mustanjid Billah (859-884 H/1460-1485 M), yang
merupakan khalifah ke-15 Bani Abbasiyah di Mesir.
Dalam
karyanya ini, Imam Suyuthi sering merujuk kitab Tarikh karangan Imam adz-Dzahabi
yang berakhir hingga 700 H. Selain itu
ia merujuk Tarikh karangan Ibnu Katsir yang berakhir hingga 738 H.
Selain itu, kitab al-Masalik dan catatan tambahannya yang berakhir
hingga 737 H dan Kitab Anbaa’ al-Ghumr karangan Ibnu Hajar yang berakhir
hingga 850 H.
Sedangkan
hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa,
maka ia banyak merujuk kepada kitab Tarikh Baghdad karangan
al-Khatib al-Baghdadi yang berjumlah sepuluh jilid, juga Tarikh Dimasyq karangan Ibnu
Asakir yang jumlah kitabnya ada lima puluh tujuh jilid, kemudian al-Awraaq karangan ash-Shuli
yang berjumlah tujuh jilid, lalu ath-Thuyuriyyah
yang berjumlah tiga jilid, lalu Hilyatu
al-Awliya’ karangan Abu Nu’aim yang berjumlah sembilan jilid, terus al-Mujalasah karangan
ad-Dainuri, juga al-Kamil
karangan al-Mubarrid sebanyak dua jilid serta Amali karangan Tsa’lab dan
masih banyak lagi.
Selain
buku-buku itu, saya juga banyak merujuk karya Joesoef Sou’yb berupa “serial” Sejarah
Daulat Khulafaur Rasyidin, Sejarah Daulat Umayyah I di Damaskus dan Sejarah
Daulat Umayyah 2 di Cordova, Sejarah Daulat Abbasiyah I, II dan III. Buku
karya Dr Ali Muhammad ash-Shalabi yang berjudul ad-Daulah al-Utsmaniyah:
‘Awamilun Nuhudh wa Asbabus Suquth, juga amat membantu saya merampungkan
karya ini, khususnya mengenai detik-detik runtuhnya khilafah di pengujung
kekuasaan Daulat Utsmaniyah di Istanbul.
Sungguh,
keinginan untuk menulis Sejarah Para Khalifah ini telah muncul sejak lama.
Niat itu lahir sebelum saya merampungkan buku 101 Kisah Tabiin.[2] Keinginan
itu, sebagian “tersalurkan” melalui Majalah Sabili lewat Rubrik Lentera
yang sempat menyajikan sejarah para khalifah dari Bani Umayyah dan Abbasiyah. Karenanya,
sebagian buku ini, ada yang masih mengambil cuplikan dari kandungan rubrik Lentera
Majalah Sabili yang sebagian besar saya yang menulis. Karenanya, sebagian
judul dan isi buku ini, ada kemiripan dengan apa yang pernah disajikan di
Majalah Sabili. Namun, kandungan majalah dan buku tentu amat berbeda. Paparan
majalah dibatasi oleh halaman dan karenanya cenderung lebih singkat. Sedangkan
penjelasan buku, jauh lebih lengkap karena tidak dibatasi dengan jumlah halaman
yang ketat.
Keinginan
untuk menyelesaikan “proyek” ini semakin membuncah seiring menghangatnya
pembicaraan seputar khilafah akhir-akhir ini. Tadinya, buku ini hanya akan
memuat Sejarah Tiga Khilafah: Umayyah di Damaskus, Abbasiyah di Baghdad dan
Umayyah di Cordova. Namun, berdasarkan “masukan” dari beberapa rekan, akhirnya buku
ini dilengkapi dengan sejarah Khulafaur Rasyidin, Daulat Abbasiyah di Mesir dan
Daulat Utsmaniyah di Istanbul. Maka, lengkaplah sajian buku ini dengan menampilkan
SELURUH PROFIL PARA KHALIFAH: dari Khalifah Pertama Abu Bakar ash-Shiddiq (11-40
H/ 632-661 M) hingga Khalifah Terakhir Turki Utsmani Abdul
Majid II (tahun 1340-1342 H/1922-1924 M).
Perdebatan
masalah khilafah memang masih menghangat dan terus terjadi. Hal ini bisa
dimaklumi lantaran banyak sisi khilafah yang menjadi objek perdebatan. Mulai
dari konsep khilafah itu sendiri hingga hukum dan metode penegakkannya.
Termasuk hal yang masih menjadi perdebatan adalah bentuk kekhalifahan itu
sendiri: apakah seperti model yang dijalankan Khulafaur Rasyidin atau mirip
sistem monarki yang dijalankan di masa setelahnya.
Melirik dari hadits panjang yang pernah disampaikan
Rasulullah saw tentang perjalanan sejarah umat Islam, maka era Bani Umayyah dan
seterusnya merupakan bagian dari khilafah. Di sisi lain, monarki bukanlah
sistem tercela yang harus dihindari mengingat kejayaan umat Islam pernah ada di
masa tersebut.
Karenanya, penulis lebih cenderung pada pendapat yang
mengatakan bahwa sistem khilafah adalah bentuk kepemimpinan yang menaungi umat
Islam seluruh dunia dalam satu payung. Masalah model dan cara pergantian
pemimpin disesuaikan dengan kondisi sebagai mana dilakukan oleh para Khulafaur
Rasyidin dan era setelahnya.
Pergantian
khilafah bisa dengan cara penunjukan secara isyarat seperti dilakukan
Rasulullah saw terhadap Abu Bakar yang memintanya menjadi imam shalat, lalu
diputuskan melalui musyawarah oleh para sahabat Nabi. Bisa juga dengan
penunjukan langsung melalui surat wasiat seperti dilakukan Abu Bakar
ash-Shiddiq kepada Umar bin Khaththab. Bisa juga dengan pembentukan tim
formatur (perwakilan) sebagaimana dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab untuk
memilih Utsman bin Affan. Atau, penunjukan secara aklamasi sebagaimana dilakukan
para sahabat Rasulullah saw terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Fakta
sejarah ini menjelaskan bahwa metode pemilihan khalifah bisa beragam. Dan,
sistem kerajaan sebagaimana dilakukan di era Bani Umayyah dan seterusnya
bukanlah aib. Apalagi ketika peristiwa itu terjadi, para sahabat Nabi saw masih
banyak yang hidup dan menjadi saksi sejarah.
Sistem
kerajaan sebagaimana sistem lainnya, merupakan pilihan dalam pembentukan
khilafah. Bahkan, dalam bentangan sejarah, sistem kerajaan sering menorehkan
kejayaan dan melahirkan peradaban tinggi. Sebut misalnya, kerajaan Nabi Daud
dan Sulaiman serta beberapa kerajaan lainnya sebelum Nabi Muhammad saw. Unsur
paling penting dari sistem khilafah adalah kepemimpinan umum dan tunggal bagi
umat Islam yang menaungi seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia. Ini yang
hilang dari kaum Muslimin kini. Wallahu a’lam.
[1] Imam suyuthi dikenal cerdas. Dalam karyanya Taisirul Ijtihad
disebutkan bahwa ia sudah hapal al-Qur’an pad usia delapan tahun. Ia juga
menghapal 200 ribu hadits. Ia menulis buku dalam berbagai bidang: al-Itqan di
bidang Ilmu al-Qur’an, al-Jami’ ash-Shaghir dan al-Jami’ al-Kabir dalam bidang
hadits, Tarikhul Khulafa’ di bidang sejarh dan buku-buku lainnya.
[2] Cetakan Pertama, Mei, 2006, Pustaka al-Kautsar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar