Sabtu, 24 Desember 2011

MENGENAL KHALIFAH KAUM MUSLIMIN

Harga Rp 60.000. SMS ke: 0817-1945-60

Di antara cara untuk menghidupkan kembali semangat kebangkitan umat Islam adalah mengingatkan mereka dengan sejarah keemasannya. Mereka yang kehilangan sejarah, ibarat orang kehilangan ayah.
         Kaum Muslimin pernah mengalami kejayaan. Di antara masa kejayaan itu terjadi ketika mereka berada di bawah payung khilafah, berselimut syariat dan menghirup udara segar ajaran Islam. Meski terdapat beragam ‘catatan’ pada masa kemilau umat Islam ini, tapi tak bisa dipungkiri sinar kejayaan itu pernah bercahaya.
            Setelah Rasulullah saw wafat, pemerintahan Islam dikendalikan Khulafaur Rasyidin. Merekalah generasi terbaik yang melanjutkan tongkat estafet dakwah hingga kita bisa mengecap nikmatnya hingga kini. Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib telah menancapkan pondasi kejayaan umat Islam yang sebelumnya dipancangkan Rasulullah saw.
        Purna kepememimpinan Khulafaur Rasyidin, bahtera dakwah dinakhodai oleh Bani Umayyah. Tak seperti pada era Abu Bakar ash-Shiddiq hingga Ali bin Abi Thalib, estafet kepemimpinan di masa Dinasti Umayyah berlangsung secara turun temurun. Sebanyak 14 khalifah berurutan mengendalikan tampuk kekuasaan. Sejarah berlangsung secara alami. Ada di antara mereka yang berhasil mengembangkan kekuasaan dengan semerbak nama yang hingga kini masih mewangi. Tapi ada juga yang mencemari kemuliaan kaum Muslimin dengan perilaku yang sama sekali tak dibenarkan Islam.
Pada masa inilah kekuasaan Islam mengalami perluasan sampai ke Persia dan sebagian daerah Bizantium. Panglima Thariq bin Ziyad berhasil mendaratkan pasukannya di dataran Spanyol, Eropa. Pada masa ini juga lahir para tokoh yang namanya kini masa abadi. Sebut misalnya, Sibawaih yang mengarang kitab yang menjadi pegangan dalam masalah tata bahasa Arab.
            Di bidang seni lahir para sastrawan seperti Umar bin Abi Rabi’ah, Qais bin Mulawwah yang terkenal dengan Lailah-Majnunah-nya. Di bidang pembangunan fisik pun tidak luput dari perhatian para khalifahnya. Masjid-masjid di luar Semenanjung Arab dibangun. Masjid Nabawi di Madinah direnovasi hingga hasilnya masih bisa kita nikmati  sampai hari ini. 
            Khilafah yang memusatkan kekuasaannya di Damaskus, Syiria ini, berdiri selama kurun cukup lama: sekitar 90 tahun (40 – 133 H/ 661 – 750 M). Diawali dengan khalifah pertamanya Muawiyyah bin Abu Sufyan, sahabat sekaligus salah seorang pencatat wahyu Rasulullah saw. Era pemerintahan Dinasti Umayyah ini diakhiri oleh Marwan bin Muhammad.
           Setelah itu, khilafah Bani Ummayah punya perpanjangan silsilah. Satu dari keturunannya berhasil menyelamatkan diri lalu menyeberang ke Semenanjung Iberia dan masuk ke Spanyol. Di sana, Abdurahman ad-Dakhil menancapkan tonggak khilafah tersendiri yang terlepas dari khilafah besar Bani Abbasiyah di Baghdad. Dialah yang menjadi cikal bakal berdirinya Daulat Umayyah di Cordoba yang puing keperkasaannya masih tersisa hingga kini.
Dari tangan Bani Umayyah di Damaskus, kekhilafahan beralih ke pangkuan Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Khalifah pertama dari Dinasti yang berkuasa selama setengah abad ini adalah Abul Abbas as-Safah. Dalam rentang waktu itu, umat Islam kembali membentangkan sayap kejayaannya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas inilah peradaban Islam mencapai puncaknya. Berbagai bidang ilmu tumbuh subur. Ilmu kedokteran, astronomi, optik, aljabar dan lainnya, berkembang pesat. Setiap kali menyebut Baghdad, kalangan Barat tak bisa melupakan sebuah buku yang berjudul Thousand and one Night atau Alfu Lailah wa Lailah (1001 Malam). Sebuah kisah yang dinisbatkan dengan Khalifah Harun ar-Rasyid.
Sebagaimana diungkapkan Philip K Hitti dalam karyanya History of The Arab, peradaban umat Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid, jauh melampaui peradaban Nasrani pimpinan Charlemagne. Dikisahkan, suatu ketika Harun ar-Rasyid mengirimkan hadiah berupah jam kepada Charlemagne. Alat penunjuk waktu yang setiap kalinya berdenting itu, membuat heran Charlemagne. Ia mengira dalam jam itu ada jinnya!
Di tengah rapuhnya kekuasaan Islam di Baghdad akibat intrik politik dan pertarungan politik para penguasanya, pasukan Tartar pimpinan Hulagu Khan, menyerbu Baghdad dan melakukan pembantaian! Tragedi 656 itu (terjadi pada 656 H), tak hanya membuat hancur Kota Baghdad dan Khalifah al-Musta’shim sekeluarga, tapi juga memunahkan Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Kota Seribu Satu Malam itu hancur menyisakan puing peradaban. Khilafah Abbasiyah yang gagah perkasa, takluk.
Namun sejarah masih menyisakan bibitnya. Kalau Abdurahman ad-Dakhil berhasil meloloskan diri ke Spanyol dan mendirikan dinasti di tempat itu, maka seorang keturunan Bani Abbas berhasil menyelamatkan diri dari keganasan pasukan Tartar. Al-Mustanshir Billah II meluputkan diri ke Mesir dan berhasil mendirikan dinasti di Negeri Fir’aun itu. Meskipun wewenangnya tidak besar, tapi para penguasa setempat merasa mendapatkan kehormatan jika direstui oleh Khalifah yang berada di Mesir itu. Bahkan, Sultan Bayazid I dari Daulat Utsmaniyah merasa perlu meminta restu dari Khalifah di Mesir.
Pada 1517 M, Sultan  Salim I dari Turki Utsmani berhasil mengalahkan Kekhalifahan Mamluk dan menjadikan Mesir bagian dari kekuasannya. Al-Mutawakkil yang merupakan khalifah terakhir dari 18 khalifah Abbasiyah di Mesir, dibawa ke Istanbul dan terjadilah timbang terima resmi jabatan khilafah. Sejak saat itu, para penguasa Turki Utsmani dipanggil juga dengan khalifah yang sebelumnya mereka menamakan diri sebagai sultan.
Dengan demikian, berakhirlah era kekuasaan Daulat Abbasiyah di Mesir. Tongkat kekhalifahan beralih ke tangan penguasa Turki Utsmani. Sebagian sejarawan, menganggap para penguasa di Istanbul ini bukan khalifah tapi kesultanan. Namun tak bisa dihindari, yang berkuasa penuh kala itu adalah kesultanan Turki Utsmani.
Para penguasa kaum Muslimin di beberapa wilayah, menyatakan tunduk kepadanya. Karenanya, tidak salah kalau pemerintahan Turki Utsmani adalah kekhalifah Islam yang diakui kaum Muslimin secara keseluruhan. Hal ini berlangsung hingga 3 Maret 1924 ketika Presiden Pertama Turki Sekular Mushtafa Kemal Pasha Ataturk, menghapus sistem khilafah dari muka bumi dan menggantinya dengan sistem sekular hingga kini.
Ada begitu banyak analisa para pemikir dan pengamat tentang sebab jatuhnya khilafah Turki Utsmani pada 1924, baik yang bersifat lebih teknis maupun sebab-sebab yang bersifat lebih umum. Secara teknis kita serahkan kepada para ahli sejarah, terutama sejarah Turki sendiri. Sedangkan secara umum, bisa dipengaruhi dua sisi.
Pertama, sebab eksternal. Khilafah Turki Utsmani kalah pada perang dunia pertama. Sebagai negara yang kalah perang, maka negeri itu dengan mudah ditindas, dirampok dan juga diperebutkan wilyahnya oleh para pemangsa dan lawan-lawannya.
            Sampai terjadi penghinaan yang begitu besar, di mana bangsa Turki yang secara geografis memang penduduk Eropa dilecehkan dengan ungkapan "The Sickman in Europe." Bahkan kata "turkey" dalam ungkapan mereka merupakan pelecehan, yang artinya ayam kalkun.
            Kedua, sebab internal. Penjajahan Barat terhadap Turki semakin menusuk tatkala mereka berhasil meraih generasi muda Turki dengan pendidikan ala Barat. Tentu saja semua itu untuk mendapatkan satu tujuan, yaitu sekularisasi selapis generasi. Maka lahirlah kemudian generasi baru yang anti Islam, Islamo-phobia, sekular, liberal dan berotak Barat.
            Mereka inilah yang didukung Eropa untuk menumbangkan lembaga khilafah Islamiyah. Tercatat tokohnya Mustafa Kemal Ataturk yang terlaknat. Sosok ini berhasil menumbangkan khilafah pada 1924 lewat gerakan Turki Muda.
            Sayangnya, hunjaman belati mematikan ini justru masuk ke dalam pelajaran sejarah di negeri kita sebagai kebangkitan, bukan sebagai kejahatan. Jaring-jaring kerja bangsa-bangsa kafir itu sedemikian luas, sehingga sosok Kemal Ataturk yang zalim justru muncul dalam buku sejarah kita sebagai pahlawan.
       Padahal Kemal telah melakukan dosa yang bahkan iblis pun tidak pernah melakukannya. Yaitu menumbangkan satu rangkaian khilafah. Padahal belum pernah sebelumnya umat Islam di dunia hidup tanpa naungan khilafah.
            Khilafah sudah ada sejak 15 abad lalu. Selama itu, umat Islam belum pernah hidup tanpa khilafah. Iblis dan para jin tidak pernah mampu menumbangkannya. Tiba-tiba seorang sekularis yang nota bene agamanya masih Islam, malah menumbangkannya. Walhasil, sejak jatuhnya khilafah Turki, umat Islam masuk dalam bid'ah kubra. Sebuah bid'ah teramat besar yang melebihi semua jenis bid'ah yang ada. Tentunya sangat dibenci dan dimurkai. Sebuah bid'ah berupa umat Islam hidup tanpa naungan khilafah.
Buku ini tidak menganalisa sabab musabab jatuh bangunnya kejayaan itu. Karya ini menyajikan profil para khalifah enam “dinasti” itu: Khulafaur Rasyidin, Daulah Umayyah di Damaskus, Daulah Abbasiyah di Baghdad, Daulah Abbasiyah di Mesir, Daulah Utsmaniyah di Istanbul dan Daulah Umayyah di Cordoba. Kisah mereka dituturkan secara kronologis dan objektif. Kronologis sesuai masa pemerintahan mereka, dan objektif apa adanya.
Ada beberapa buku induk yang dijadikan referensi dalam menyusun buku ini. Di antaranya, buku al-Kamil fit Tarikh karya Ibnul Atsir. Buku ini menarik dijadikan referensi karena penulisnya termasuk pelaku sejarah itu sendiri. Bahkan, Ibnul Atsir sempat berinteraksi dengan sebagian khalifah Daulah Abbasiyah.
Ibnul Atsir yang nama aslinya Izzudin Abul Hasan Ali bin Atsir lahir pada 1160 M dan wafat pada 1234 M. Sedangkan al-Mustanshir, khalifah ke-36 dari Daulah Abbasiyah di Baghdad, lahir sekitar 1191 M dan wafat pada 1243 M. Menurut Ferdinand Tottle dalam Munjid fil Adabi, karya Ibnul Atsir yang terbesar adalah kitab al-Kamil fit Tarikh yang memaparkan sejarah dari zaman purbakala hingga tahun 1230 M atau beberapa tahun sebelum Ibnul Atsir wafat. Dalam kitabnya al-Kamil, masih ditemukan tulisannya yang memaparkan peristiwa yang terjadi pada 628 H. Sedangkan Ibnul Atsir wafat sekitar 631 H.
Buku lainnya adalah Tarikhul Khulafa’ karya Imam Suyuthi. Buku ini juga tak kalah menarik karena ditulis oleh ‘pelaku’ sejarah. Pemilik nama lengkap Abdurahman bin Kamaluddin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin, Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi`i ini, lahir pada 1 Rajab 849 H/1445 M dan wafat pada 911H /1505 M. Dia adalah ulama dan cendekiawan Muslim yang hidup pada abad 15 di Kairo, Mesir.[1]
Semasa hidupnya, Imam Suyuthi menulis banyak buku tentang berbagai hal, seperti hadits, tafsir, bahasa, hukum Islam dan lainnya. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Tafsir al-Jalalain yang ia tulis bersama Jalaluddin al-Mahalli.
Di antara karyanya juga adalah Tarikhul Khulafa’. Menariknya, karena Imam Suyuthi hidup di pengujung pemerintahan Khilafah Abbasiyah di Mesir. Ia sempat semasa dengan Khalifah al-Mustanjid Billah (859-884 H/1460-1485 M), yang merupakan khalifah ke-15 Bani Abbasiyah di Mesir.
Dalam karyanya ini, Imam Suyuthi sering merujuk kitab Tarikh karangan Imam adz-Dzahabi yang berakhir hingga 700 H.  Selain itu ia merujuk Tarikh karangan Ibnu Katsir yang berakhir hingga 738 H. Selain itu, kitab al-Masalik dan catatan tambahannya yang berakhir hingga 737 H dan Kitab Anbaa’ al-Ghumr karangan Ibnu Hajar yang berakhir hingga 850 H.
Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa,  maka ia banyak merujuk kepada kitab Tarikh Baghdad karangan al-Khatib al-Baghdadi yang berjumlah sepuluh jilid,  juga Tarikh Dimasyq karangan Ibnu Asakir yang jumlah kitabnya ada lima puluh tujuh jilid,  kemudian al-Awraaq karangan ash-Shuli yang berjumlah tujuh jilid,  lalu ath-Thuyuriyyah yang berjumlah tiga jilid,  lalu Hilyatu al-Awliya’ karangan Abu Nu’aim yang berjumlah sembilan jilid,  terus al-Mujalasah karangan ad-Dainuri,  juga al-Kamil karangan al-Mubarrid sebanyak dua jilid serta Amali karangan Tsa’lab dan masih banyak lagi.
Selain buku-buku itu, saya juga banyak merujuk karya Joesoef Sou’yb berupa “serial” Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Sejarah Daulat Umayyah I di Damaskus dan Sejarah Daulat Umayyah 2 di Cordova, Sejarah Daulat Abbasiyah I, II dan III. Buku karya Dr Ali Muhammad ash-Shalabi yang berjudul ad-Daulah al-Utsmaniyah: ‘Awamilun Nuhudh wa Asbabus Suquth, juga amat membantu saya merampungkan karya ini, khususnya mengenai detik-detik runtuhnya khilafah di pengujung kekuasaan Daulat Utsmaniyah di Istanbul.
Sungguh, keinginan untuk menulis Sejarah Para Khalifah ini telah muncul sejak lama. Niat itu lahir sebelum saya merampungkan buku 101 Kisah Tabiin.[2] Keinginan itu, sebagian “tersalurkan” melalui Majalah Sabili lewat Rubrik Lentera yang sempat menyajikan sejarah para khalifah dari Bani Umayyah dan Abbasiyah. Karenanya, sebagian buku ini, ada yang masih mengambil cuplikan dari kandungan rubrik Lentera Majalah Sabili yang sebagian besar saya yang menulis. Karenanya, sebagian judul dan isi buku ini, ada kemiripan dengan apa yang pernah disajikan di Majalah Sabili. Namun, kandungan majalah dan buku tentu amat berbeda. Paparan majalah dibatasi oleh halaman dan karenanya cenderung lebih singkat. Sedangkan penjelasan buku, jauh lebih lengkap karena tidak dibatasi dengan jumlah halaman yang ketat.
Keinginan untuk menyelesaikan “proyek” ini semakin membuncah seiring menghangatnya pembicaraan seputar khilafah akhir-akhir ini. Tadinya, buku ini hanya akan memuat Sejarah Tiga Khilafah: Umayyah di Damaskus, Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Cordova. Namun, berdasarkan “masukan” dari beberapa rekan, akhirnya buku ini dilengkapi dengan sejarah Khulafaur Rasyidin, Daulat Abbasiyah di Mesir dan Daulat Utsmaniyah di Istanbul. Maka, lengkaplah sajian buku ini dengan menampilkan SELURUH PROFIL PARA KHALIFAH: dari Khalifah Pertama Abu Bakar ash-Shiddiq (11-40 H/ 632-661 M) hingga Khalifah Terakhir Turki Utsmani Abdul Majid II (tahun 1340-1342 H/1922-1924 M).
Perdebatan masalah khilafah memang masih menghangat dan terus terjadi. Hal ini bisa dimaklumi lantaran banyak sisi khilafah yang menjadi objek perdebatan. Mulai dari konsep khilafah itu sendiri hingga hukum dan metode penegakkannya. Termasuk hal yang masih menjadi perdebatan adalah bentuk kekhalifahan itu sendiri: apakah seperti model yang dijalankan Khulafaur Rasyidin atau mirip sistem monarki yang dijalankan di masa setelahnya.
            Melirik dari hadits panjang yang pernah disampaikan Rasulullah saw tentang perjalanan sejarah umat Islam, maka era Bani Umayyah dan seterusnya merupakan bagian dari khilafah. Di sisi lain, monarki bukanlah sistem tercela yang harus dihindari mengingat kejayaan umat Islam pernah ada di masa tersebut.
            Karenanya, penulis lebih cenderung pada pendapat yang mengatakan bahwa sistem khilafah adalah bentuk kepemimpinan yang menaungi umat Islam seluruh dunia dalam satu payung. Masalah model dan cara pergantian pemimpin disesuaikan dengan kondisi sebagai mana dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin dan era setelahnya.
Pergantian khilafah bisa dengan cara penunjukan secara isyarat seperti dilakukan Rasulullah saw terhadap Abu Bakar yang memintanya menjadi imam shalat, lalu diputuskan melalui musyawarah oleh para sahabat Nabi. Bisa juga dengan penunjukan langsung melalui surat wasiat seperti dilakukan Abu Bakar ash-Shiddiq kepada Umar bin Khaththab. Bisa juga dengan pembentukan tim formatur (perwakilan) sebagaimana dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab untuk memilih Utsman bin Affan. Atau, penunjukan secara aklamasi sebagaimana dilakukan para sahabat Rasulullah saw terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Fakta sejarah ini menjelaskan bahwa metode pemilihan khalifah bisa beragam. Dan, sistem kerajaan sebagaimana dilakukan di era Bani Umayyah dan seterusnya bukanlah aib. Apalagi ketika peristiwa itu terjadi, para sahabat Nabi saw masih banyak yang hidup dan menjadi saksi sejarah.
Sistem kerajaan sebagaimana sistem lainnya, merupakan pilihan dalam pembentukan khilafah. Bahkan, dalam bentangan sejarah, sistem kerajaan sering menorehkan kejayaan dan melahirkan peradaban tinggi. Sebut misalnya, kerajaan Nabi Daud dan Sulaiman serta beberapa kerajaan lainnya sebelum Nabi Muhammad saw. Unsur paling penting dari sistem khilafah adalah kepemimpinan umum dan tunggal bagi umat Islam yang menaungi seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia. Ini yang hilang dari kaum Muslimin kini. Wallahu a’lam.


[1] Imam suyuthi dikenal cerdas. Dalam karyanya Taisirul Ijtihad disebutkan bahwa ia sudah hapal al-Qur’an pad usia delapan tahun. Ia juga menghapal 200 ribu hadits. Ia menulis buku dalam berbagai bidang: al-Itqan di bidang Ilmu al-Qur’an, al-Jami’ ash-Shaghir dan al-Jami’ al-Kabir dalam bidang hadits, Tarikhul Khulafa’ di bidang sejarh dan buku-buku lainnya.
[2] Cetakan Pertama, Mei, 2006, Pustaka al-Kautsar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar