Mengenal Generasi Tabiin
Oleh: Hepi Andi Bastoni
|
Rp 98.000, SMS ke: 0817-1945-60 |
Semula saya mengira menyusun buku tentang tabiin itu lebih mudah.
Paling tidak jika dibandingkan dengan penggarapan dua buku saya sebelumnya. Saya menganggap
lebih mudah karena jumlah tabiin tentu jauh lebih banyak dibandingkan dengan
shahabat atau shahabiyat. Sebab, secara umum defenisi tabiin adalah mereka yang
pernah bertemu dengan sahabat Nabi, masuk Islam dan meninggal dalam keadaan
Muslim. Kalau jumlah sahabat Nabi lebih dari 12.000 orang, maka jumlah tabiin tentu jauh lebih banyak. Apalagi, di antara
mereka banyak yang sudah menyebar ke berbagai pelosok bumi.
Pada peristiwa Fathu Makkah jumlah sahabat Nabi mencapai 10.000
orang. Jumlah ini belum ditambah dengan mereka yang tinggal di Madinah dan
mereka yang baru masuk Islam.
Namun ternyata tidak. Mencari kisah generasi terbaik ketiga ini tak
semudah yang diperkirakan. Ada beberapa kesulitan dalam menemukan kisah dan
mengisahkan kembali sosok para tabiin ini.
Pertama, meski tidak
terlalu mencolok, tapi di kalangan sejarawan, defenisi tabiin masih beragam.
Al-Khathib al-Baghdadi, seorang ulama hadits dan sejarah asal Baghdad yang
hidup pada abad ke-4, mengatakan, “Tabiin adalah orang yang menyertai seorang
shahabat Rasul.” Namun, pengertian ‘menyertai’ tidak cukup dengan ‘pertemuan’
semata. Ini berbeda dengan definisi ‘shahabat’ yang hanya cukup dengan
‘bertemu’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam, berkumpul bersama beliau atau melihatnya. Sebab, semua peristiwa
itu mempunyai pengaruh yang besar dalam perbaikan hati dan penjernihan jiwa,
yang tentunya dengan kualitas dan kesiapan hati yang sangat berbeda dengan
orang yang bertemu seorang shahabat dengan tanpa mengikuti langkah-langkahnya.
Sementara menurut para pakar
hadits yang lain, “Tabiin adalah orang yang bertemu dengan seorang shahabat
atau lebih meskipun belum pernah bersamanya.” Sedangkan Ibnu Hibban, seorang
ahli hadits mensyaratkan seorang tabiin harus melihat shahabat
Nabi pada usia dimana orang dapat menghapal hadits darinya. Dengan kata lain,
seorang tabiin ketika bertemu para shahabat
harus dalam usia mumayyiz (mampu
membedakan baik dan buruk). Sebab, jika ia masih kecil, belum dapat menghafal
hadits darinya, maka pernyataannya yang mengatakan bahwa ia telah melihat
seorang shahabat tidak dianggap apa pun. Hal ini seperti dialami oleh Khalaf
bin Khalifah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kategori Tabiut tabiin, bukan tabiin meskipun ia
melihat sahabat Amr bin Huraits. Sebab, ketika melihatnya ia masih kecil, belum
mumayyiz.
Namun, beberapa buku tetap
memasukkannnya dalam katagori tabiin. Penyusun Ensiklopedi Islam, menyebutnya sebagai tabiin paling akhir yang
pernah bertemu dengan Abu Thufail Amir bin Wa’ilah. Penyusun sendiri tak memasukkan
Khalaf bin Khalifah dalam buku ini.
Begitu juga dengan orang yang lahir di masa
Nabi, tapi belum atau tidak berinteraksi dengan beliau. Maka, ia tak
digolongkan shahabat, tapi tabiin. Dengan alasan inilah, maka Ahmad Khalil
Jum’ah dalam bukunya Nisa’ Min ‘Ashrit
Tabiin memasukkan Ummu Kultsum bintu Ali yang sekaligus merupakan istri
Umar bin Khaththab, dalam kelompok tabiin. Padahal, ada yang menyebutkan, Ummu
Kultsum lahir ketika Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam masih hidup. Bahkan, menurut Ahmad Khalil Jum’ah sendiri,
beliaulah yang memberinya nama. Namun, beberapa buku lain, tak ada yang
menyebutkan kelahiran Ummu Kultsum di masa Nabi. Penyusun sendiri memasukkan
Ummu Kultsum bintu Ali dalam buku ini, dan menggolongkannya dalam katagori
tabiin.
Namun, al-Iraqi mengritik definisi
tabiin menurut Ibnu Hibban. Menurutnya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan penjelasan tentang
masalah ini dengan sabdanya,
لا يمس النار مسلما
رآني أو رآى من رآني
Artinya, “Tidak akan disentuh api
neraka seroang Muslim yang melihatku dan melihat seorang yang telah melihatku,”
(HR Tirmidzi bab al-Manaqib an
Rasululillah 3793).
Dalam pengertian hadits ini cukup
dengan hanya ‘melihat’ seorang sahabat Nabi, maka seseorang sudah bisa
digolongkan tabiin. Dengan demikian, jumlah tabiin, baik laki-laki
maupun perempuan, tidak terhitung. Sebab, setiap orang yang melihat seorang
shahabat adalah tabiin. Sementara Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat meninggalkan shahabat yang
berjumlah ratusan ribu orang yang tersebar di berbagai wilayah yang
berbeda-beda.
Umumnya, para ahli haditslah yang sangat
perhatian dalam pendefinisian shahabat dan tabiin karena keduanya menjadi
terpenting dalam mengenali manakah sanad hadits yang terputus dan tersambung.
Selain itu, kedudukan para tabiin juga
bertingkat-tingkat (thabaqat) berdasarkan
senioritas dan kualitas sahabat Nabi yang ia temui. Ibnu Sa’ad, misalnya
mengelompokkannya dalam empat tingkatan. Sedangkan al-Hakim
mengklasifikasikannya dalam 15 tingkatan.
Untuk tingkatan pertama, para ulama sepakat memberi batasan bahwa
mereka adalah tabiin yang pernah berjumpa dan bersahabat dengan 10 Sahabat Nabi
yang diberi kabar gembira masuk surga.
Tabiin yang paling awal meninggal adalah Abu Zaid Ma’mar bin Zaid yang wafat
pada 30 Hijriyah.
Sedangkan tabiin paling akhir menurut al-Hakim adalah mereka yang
sempat berjumpa dengan sahabat Nabi paling akhir wafat (man laqiya aakhira ash-shahabah mautan).Tabiin yang termasuk thabaqat ini adalah mereka yang berjumpa
dengan Abu Thufail Amir bin Wa’ilah di Makkah, tabiin yang bertemu dengan
as-Saib bin Yazid di penduduk Madinah, tabiin dari penduduk Bashrah yang
bertemu dengan Anas bin Malik, tabiin dari penduduk Kufah yang bertemu Abdullah
bin Abi Aufa, tabiin dari penduduk Mesir yang bertemu dengan Abdullah bin
al-Harits bin Jaz’ dan tabiin dari penduduk Syam yang bertemu dengan Abu Umamah
al-Bahili.
Berdasarkan pendapat ini, maka
tabiin paling akhir wafat adalah Khalaf bin Khalifah yang sempat bertemu dengan
Abu Thufail di Makkah. Dengan demikian, periode tabiin berakhir pada 181
Hijriyah bersamaan dengan pemerintahan Harun ar-Rasyid (170-194 H) dari Bani
Abbas. Namun, ada juga yang mengatakan
periode tabiin berakhir pada masa hidup Imam Abu Hanifah. Bahkan, beberapa
ulama memperselisihkan, apakah Abu Hanifah termasuk tabiin atau bukan. Namun,
jika dilihat dari tahun kelahirannya, sangat memungkinkan ia bersua dengan
sahabat Nabi. Abu Hanifah lahir pada 80 Hijriyah di Kufah.
Ia wafat pada Rajab 150 Hijriyah dalam usia 70 tahun. Imam Abu Hanifah sendiri pernah mengaku pernah bertemu
dengan tujuh sahabat Nabi.
Membedakan antara sahabat Nabi dan tabiin
memang agak susah. Misalnya, sosok Rabi’ bin Ziyad. Ada yang memasukkannya
dalam deretan nama sahabat Nabi. Tapi, tak ada riwayat pasti tentang
pertemuannya dengan Rasulullah. Bahkan, kiprahnya baru terlihat pada masa
pemerintahan Umar bin Khaththab. Ia datang ke Madinah pasca wafatnya Abu Bakar
ash-Shiddiq. Wallahu A’lam.
Tapi, lebih sulit lagi membedakan antara tabiin
dan tabiut tabiin. Banyak tokoh yang jika dilihat dari interaksinya dengan para
tabiin sangat intens. Tapi ternyata mereka tak pernah bertemu dengan sahabat
Nabi sehingga tidak bisa digolongkan dalam kelompok tabiin. Termasuk dalam
kelompok ini adalah tokoh seperti Sufyan bin Uyainah, Fudhail bin Iyyadh dan
Sufyan ats-Tsauri serta Harun ar-Rasyid sendiri. Mereka adalah orang-orang yang
hidup di masa tabiin, tapi tak sempat bertemu sahabat Nabi.
Namun demikian, beberapa buku sempat memasukkan
nama-nama ini pada deretan tabiin. Bahkan, dalam bukunya Siyar A’lamit
Tabiin, Shabri bin Salamah Syahin memaparkan sejarah hidup al-Auza’i.
Dilihat dari tahun kelahirannya memang memungkinkan ia bertemu sahabat Nabi.
Al-Auzai lahir pada 88 Hijriyah dan wafat pada 157 Hijriyah. Namun, tak ada
fakta jelas yang menyebutkan pertemuannya dengan sahabat Rasulullah saw.
Karenanya, Imam Nawawi dalam bukunya Syarhu al-Muhadzdzab menyebutkan,
“Adapun al-Auza’i ialah Abu Amr, Abdur Rahman bin Amr dari golongan
Tabiit-Tabiin senior, dan imam yang brilian. Ia menjadi imam bagi penduduk Syam
di zamannya.”
Berkenaan dengan keutamaan para
tabiin ini, al-Qur’an memberikan isyarat dalam firman-Nya,
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamunya. Itulah kemenangan yang besar,” (QS at-Taubat: 100).
Ini juga dikuatkan dengan sabda
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam,
خير أمتي قرني ثم الذين
يلونهم ثم الذين يلونهم
Artinya, “Sebaik-baik orang adalah
mereka yang semasa denganku (dalam abad yang sama), kemudian generasi
selanjutnya, dan generasi selanjutnya.” (HR
Bukhari Muslim).
Untuk memudahkan penulisan, yang penyusun lakukan pertama kali
adalah me-list nama-nama tokoh yang
pernah bertemu dengan para sahabat Nabi. Di sinilah penyusun menemukan
kesulitan. Tidak gampang untuk menentukan apakah seorang tokoh itu sahabat,
tabiin atau Tabiut tabiin. Banyak di antara mereka yang kalau dilihat dari
tahun kelahirannya, termasuk
sahabat, seperti an-Najasyi. Ia hidup semasa dengan Nabi. Bahkan, ketika dia
meninggal, Nabi melakukan shalat ghaib untuknya.
Namun, tak pernah ada dalam catatan sejarah, bahwa ia bertemu dengan Nabi. Ia
hanya berinteraksi dengan para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Karenanya, ia
digolongkan tabiin dan termasuk tokoh yang dipaparkan dalam buku ini.
Kedua, susahnya memisahkan antara kisah shahih dan dhaif (lemah)
bahkan mungkin maudhu’ (palsu). Kalau
dalam kisah para sahabat saja kita menemukan banyak penyimpangan dalam
pemaparan kisah mereka, apalagi pada generasi tabiin. Yang bermasalah bukan
para sahabat atau tabiinnya, tapi orang yang mengisahkannya pada kita. Banyak
sekali ditemukan hadits-hadits atau kisah dhaif
bahkan palsu yang menghiasi lembaran buku-buku sejarah. Tak terlalu mudah
untuk memilah kisah-kisah itu, membuang yang dhaif atau palsu dan mengambil yang shahih.
Ketiga, kisah tentang tabiin sudah
banyak intervensi. Sebab, mereka hidup di masa suasana politik yang cukup
komplek. Mereka dipaksa berpihak pada satu kelompok. Karenanya, tak terlalu
mudah untuk memilih peristiwa yang tak hanya shahih, tapi juga objektif.
Maksudnya, tanpa dibumbui oleh kepentingan salah satu pihak. Sosok Raja’ bin
Haywah memang satu. Tapi kisahnya bisa beragam. Bagi yang sentimen, tentu
menganggap tokoh ini sebagai sosok yang lengket dengan penguasa Bani Umayyah.
Padahal, kedekatannya dengan penguasa justru sangat penting. Perannya dalam
pemilihan dan pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah Bani Umayyah,
sangat besar. Dialah yang melobi Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik untuk
mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya.
Keempat, referensi tentang tabiin
tak sebanyak shahabat atau shahabiyat. Kisah tentang mereka masih tercecer
dalam buku-buku induk, berbaur dengan kisah tokoh lainnya yang bukan dari
kalangan tabiin. Terasa agak sulit menelisiknya lalu menceritakannya kembali
pada pembaca. Selain itu, sebagian besar biografi tabiin yang terekam dalam
buku-buku sejarah, tidak utuh. Ia hanyalah penggalan kisah yang terpisah-pisah.
Nah, sebenarnya tugas utama penyusun adalah memilah kisah-kisah itu dan
merangkaikan sesuai urutan dan pasangannya.
Kelima, karena sejarah para tabiin
ini masih banyak yang direkam buku-buku asli berbahasa Arab, maka menulis ejaan
nama mereka, merupakan kesulitan tersendiri. Misalnya, ejaan nama Ayub
as-Sukhtiyani atau as-Sakhtiayani, Abu Abdirahman as-Sulami atau as-Silmi, dan
masih banyak nama-nama lain yang ejaannya memerlukan perhatian khusus.
Selain itu, penggunaan Alim Lam
Ta’rif di depan nama tokoh, kadang menyulitkan bacaannya. Dalam hal
penyebutan lisan, penggunaan Alif Lam, terasa mengganggu. Kalau dilihat
dari ejaan asli Arabnya, nama Khalifah Kedua Khulafaur Rasyidin adalah Umar bin
al-Khaththab. Tapi, dalam buku-buku, biasanya tertulis Umar bin Khaththab
(tanpa al-).
Keberadaan al- akan terasa mengganggu kalau berada di awal nama. Dengan alasan
itulah, agar lebih enak di telinga, sebagian al- itu dihilangkan. Seperti, ar-Rabbab bintu Imraul Qais ditulis
Rabbab bintu Imraul Qais. Begitu juga dengan az-Zarqa’ bintu ‘Ady ditulis
Zarqa’ bintu ‘Ady.
Ketujuh, para tabiin
ini punya gelar, kun-yah atau nama
lain. Sehingga boleh jadi dalam sebuah buku, yang disebutkan adalah namanya.
Sedangkan dalam buku lain, yang ditulis gelar atau sukunya. Padahal, orangnya
sama. Ini cukup menyulitkan. Ketika pertama kali membuat list nama para tabiin yang akan penyusun bahas, beberapa di
antaranya terpaksa dicoret. Contoh: Shabri bin Salamah Syahin menyebutkan nama
Abul Aliyah. Sedangkan Abdurahman Ra’fat Basya dan Abdul Mun’im al-Hasyimi
menyebutkan Rufai bin Mihran. Padahal, Abul Aliyah dan Rufai bin Mihran satu
orang. Amir bin Syurahbil adalah nama asli dari asy-Sya’bi. Al-A’masy nama
aslinya adalah Sulaiman bin Mihran. Di beberapa buku ada yang menulis Dzakwan
bin Kaisan. Tapi, di buku lainnya ditulis Thawus bin Kaisan. Jika tidak teliti,
pemaparan dua nama itu bisa berulang. Padahal, sosoknya sama.
Lalu, mungkin muncul pertanyaan. Mengapa yang dipaparkan dalam buku
ini hanya 101 tabiin saja? Bukankah jumlah mereka banyak? Benar. Angka 101
tidak ada apa-apanya. Seperti dua buku saya sebelumnya: 101 Sahabat Nabi (Pustaka al-Kautsar) dan 101 Wanita di Masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam (Robbani
Press). Angka itu untuk memudahkan pembaca mengingat judul buku, tidak ada
maksud apa-apa, apalagi sampai mengkeramatkannya.
Jika dibandingkan dengan jumlah para tabiin, angka 101 memang tak
terlalu banyak, bahkan teramat sedikit. Namun, kalau kita runut buku-buku
sejarah para tabiin, belum ada yang mencapai angka itu. Apalagi yang berbahasa
Indonesia. Kalau pun ada, masih berbahasa Arab dan jumlahnya belum mencapai
seratus orang.
Misalnya, buku Min A’lamis
Salaf yang disusun oleh Ahmad bin Abdullah an-Namlah hanya memaparkan
delapan sosok tabiin. Abdurahman Ra’fat Basya menulis tak lebih dari 30 tabiin
saja dalam bukunya Shuwar Min Hayatit
Tabiin. Shabri bin Salamah Syahin menulis cukup banyak. Dalam bukunya Siyar A’lamit Tabiin ia menulis 40
tabiin.
Pemaparan para penulis itu pun beragam. Ada yang hanya menulis
penggalan atau potongan kisah saja dari sejarah hidup para tabiin itu. Metode
ini bisa ditemukan pada buku Shuwar Min
Siyarit Tabiin karangan Azhari Ahmad Mahmud. Ada juga yang lebih banyak
memuat penggalan komentar dari para ulama tentang tokoh tertentu, seperti
dilakukan Shabri bin Salamah Syahin dalam karyanya Siyar A’lamit Tabiin.
Namun, ada juga yang menulis cukup rinci: nama, nasab, pekerjaan,
dan kronologis perjalanan hidup mereka. Ini yang dilakukan oleh Abdul Mun’im
al-Hasyimi. Bahkan, dalam bukunya ‘Ashrut
Tabiin, ia mengelompokkan para tabiin itu berdasarkan asal atau profesi
mereka. Misalnya, Sa’id bin al-Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin
Abdurahman, Qasim bin Muhammad, Ubaidillah bin Abdullah, Sulaiman bin Yasar,
dan Kharijah bin Zaid, ia kelompokkan dalam bab Fuqaha’ al-Madinah as-Sab’ah (Tujuh Ahli Fiqhi Madinah).
Sedangkan az-Zuhri, Syuraih al-Qadhi, Muhammad bin Sirin, Atha’ bin
Abi Rabah, Raja’ bin Haywah, dan asy-Sya’bi, dia kumpulkan dalam bab Masyahirul Qudhah (Para Hakim Ternama).
Dalam bab Ahlus Saifi wal Qalam (Pemiliki
Pedang dan Pena), Abdul Mun’im al-Hasyimi memaparkan sejarah hidup delapan
tabiin. Mereka adalah Said bin Jubair, Rabi’atur Ra’y, Salamah bin Dinar,
Muhammad bin Wasi’ al-Azadi, Thawus bin Kaisan, Shilah bin Asyyam, Salim bin
Abdullah, dan Rufai’ bin Mihran. Namun, lagi-lagi tokoh yang dia tulis tak
semuanya tabiin. Di antara mereka adalah tabiut
tabiin.
Selebihnya, kisah tentang para tabiin masih tercecer di buku-buku
‘besar’, seperti Siyar A’lamin Nubala karangan
adz-Dzahabi, al-Isti’ab fi Asma’il Ashhab
karangan Ibnu Abdil Bar, al-Ishabah
fi Tamyizish Shahabah karangan Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Bidayah wan Nihayah karangan Ibnu Katsir dan beberapa buku
lainnya.
Nah, dalam buku ini penyusun berusaha merangkai ceceran yang
berserakan itu, dan menyatukannya dalam satu simpul agar mudah dipahami. Tentu
dengan menggunakan bahasa yang membumi, tidak menerjemahkan atau mengutip
mentah. Dengan demikian, bahasanya mengalir dan enak dibaca. Terkait dengan
penyusunan buku ini, ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Di antaranya:
Dalam penulisan sebagian kisah tabiin, terpaksa harus melibatkan
perjalanan tabiin lain. Dengan demikian, ada kesan pengulangan. Tapi hal ini
tak bisa dihindari. Apalagi kalau sebagian besar dari mereka tak hanya hidup
dalam masa, tapi juga satu tempat. Di antara mereka ada ikatan ayah dan anak,
guru dan murid serta teman seperguruan.
Pendeknya, karena mereka memang hidup satu masa, persinggungan
kisah di antara mereka tak bisa dihindari. Karenanya, seperti disebutkan di
atas, ketika membaca kisah salah seorang di antara mereka, akan terasa ada
pengulangan lantaran pernah disebutkan pada kisah yang lain.
Selain itu, interaksi para tabiin dengan sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat
beragam. Ada yang sedikit ada yang banyak. Ini juga memengaruhi penulisan
sejarah hidup mereka. Karenanya, dalam penulisan karya ini, penuturan tentang
mereka pun beragam. Ada yang panjang dan ada yang singkat. Hal ini bisa
disebabkan beberapa hal. Bisa jadi karena interaksi mereka dengan para sahabat
memang sedikit, atau karena keterbatasan penyusun sendiri dalam menemukan
referensi. Atau karena memang tokoh itu sudah dikenal sehingga tak perlu
pemaparan banyak. Hanya yang penting-penting saja. Inilah yang menyebabkan
mengapa terjadi perbedaan jumlah halaman dalam penulisan mereka.
Sikap netral dan memaparkan apa adanya, adalah upaya paling utama
yang penyusun kedepankan. Karenanya, ketika para tabiin menyikapi berbagai
persoalan tentang para sahabat Nabi, terutama pasca terbunuhnya Khalifah Utsman
bin Affan, hingga berdirinya Daulat Umayyah, penyusun berusaha memaparkannya
seobjektif mungkin, tidak berpihak dan berusaha menjaga “kesucian” para sahabat
itu. Prinsipnya, tak mungkin para sahabat atau sahabiyah yang sebagian besar
telah dijamin masuk surga dan termasuk orang yang terdekat, bahkan bergaul
langsung dengan Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam melakukan tindakan di luar batas yang diatur agama. Andai
terjadi, tentu termasuk hal yang bisa dipahami dan tidak mengurangi jasa mereka
terhadap Islam.
Menarik jawaban Sulaiman bin Mahran ketika Khalifah Hisyam bin
Abdul Malik memintanya untuk menulis kebaikan Utsman bin Affan dan keburukan
Ali. Dengan tegas Sulaiman menjawab, “Seandainya Utsman memiliki keutamaan bagi
penduduk bumi, itu takkan bermanfaat bagimu. Seandainya Ali bin Abi Thalib
mempunyai keburukan, itu pun takkan membahayakanmu. Uruslah dirimu sendiri.”
Tak bisa dipungkiri, dengan berbagai motif, di beberapa buku
sejarah sering kita menemukan sosok yang menjadi pahlawan, namun tak jelas
sumbernya. Namun, masyarakat sudah kadung
yakin dan mempercayainya. Misalnya, Su’da bintu Abdurahman dan Atikah bintu
Muawiyah. Kedua wanita itu sering disebut-sebut dalam buku-buku sejarah.
Padahal, baik Abdurahman bin Auf maupun Muawiyah tak pernah memiliki anak
bernama Su’da dan atau Atikah.